Kamis, 23 Juni 2011

Kekuasaan: antara Cita-cita dan Lelucon yang Memalukan!

Sebagai pemuja Yoshistune no Minamoto.. rasanya menyebalkan melihat orang-orang Machiavellist. Bagai mana tidak, melihat orang yang mengaplikasikan The Prince sebagai cara pandang, cara hidup.. rasanya memuakkan. Walaupun tentu saja dalam kultur budaya Indonesia jarang kita menemui orang yang blak-blakan sebagai pengatut Machiavellisme. Bahkan untuk sekedar aplikator "Vom Kriege"nya Jendaral Clausewitz. Baik kaum materialisme Feuerbach  ataupun kaum sintesisnya Hegel  bagi saya pun semua sama saja.. Kenapa kita mesti mengamba kekuasaan? Bukankah pada awalnya kekuasaan adalah alat untuk berbakti pada rakyat dengan sebesar-besarnya? Bukankah pada awalnya kekuasaan adalah idealisme bagi mimpi mensejahterakan rakyat banyak?
Walau bagaimanapun pemikiran Lucian W.Pye dan Sidney dalam buku Political Culture and Political Development, mereka mengatakan :”The political culture of society consist of the system of empirical believe expressive symbol and values which devidens the situation in political action can take place, it provides the subjective orientation to politics.....The political culture of society is highly significant aspec of the political system”. Seharusnya menjadi pembenaran pada pemikiran Soekarno muda, seperti yang bisa kita baca di Dibawah Naungan Bendera Revolusi. Soekarno yang belum haus kekuasaan. Kita memang tidak pernah bisa bergerak ke barat, kita juga tidak perlu bergerak ke timur. Kita tida perlu jadi terlalu kiri, kita tidak perlu terlalu kanan! Kita adalah kita dengan pijakan bumi yang berbeda. Tapi itulah manusia yang sama.. mereka yang memburu kekuasaan dengan serius, dengan main-main, baik secara terbuka ataupun sambil malu-malu rasanya tetap malu-maluin!
Rasa-rasanya kita harus mengukur idealisme kita, mengukur perasaan kita sendiri.. DENGAN JUJUR… Secara definisi Kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain untuk mencapai sesuatu dengan cara yang diinginkan. Dan cara mempengaruhi orang lain amat-sangat tergantung pada niat mencapai kekuasaan. Rational Persuasion, Adalah siasat meyakinkan orang lain dengan menggunakan argumen yang logis dan rasional. Inspiration Appeals Tactics, Adalah siasat dengan meminta ide atau proposal untuk membangkitkan rasa antusias dan semangat dari target person. Consultation Tactics, Terjadi ketika kita meminta target person untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan yang kita agendakan. Ingratiation Tactics, Adalah suatu siasat dimana kita berusaha untuk membuat senang hati dan tentram target person, sebelum mengajukan permintaan yang sebenarnya. Personal Appeals Tactics, Terjadi ketika kita berusaha mempengaruhi target person dengan landasan hubungan persahabatan, pertemanan atau hal yang bersifat personal lainnya. Exchange Tactics, Adalah mirip dengan personal appeal tactics namun sifatnya adalah bukan karena hubungan personal semata, namun lebih banyak karena adanya proses pertukaran pemahaman terhadap kesukaan, kesenangan, hobi, dsb. diantara kita dan target person. Coalition Tactics, Adalah suatu siasat dimana kita berkoalisi dan meminta bantuan pihak lain untuk mempengaruhi target person. Strategi kemenangan karena jumlah pengikut dipakai dalam siasat ini. Pressure Tactics, Terjadi dimana kita mempengaruhi target person dengan peringatan ataupun ancaman yang menekan. Legitimizing Tactics, Adalah satu siasat dimana kita menggunakan otoritas dan kedudukan kita untuk mempengaruhi target person.
Nah, bahaya dari niat pada tataran implementasi adalah pada cara. Tipu muslihat yang dilakukan orang yang ingin mengejar kekuasaan kadang menakutkan.. karena bukankah kita kesulitan membaca hati dan pikiran orang. Pernah dalam satu obrolan dengan salah satu atasan saya di Kemenag “wan hati-hati kalau bicara sama orang struktural mah. Para pejabat itu, bisa dengan sangat ramah di depan kita, bermanis-manis, tersenyum. Tapi dalam hati, setiap mereka sedang mencari celah.. kapan bisa menjatuhkan kita, merebut atau mempertahankan jabatan. Itulah sebabnya jabatan (kekuasaan) itu sifatnya amat-teramat panas. Jika tak hati-hati bisa-bisa kawan seiring yang membusukkan kita.. hati-hati…” Pesan yang sering kali membuat saya tak sekedar menjadi hati-hati pada lawan bicara, tapi juga sambil mengukur, seberapa berbahaya lawan bicara kita. Bahkan lebih dari itu, perasaan was-was kadang membelenggu.. perasaan hebat yang membuat kita seperti binatang yang selalu waspada.
Bukan hal yang berat sebenarnya menjadi “yang waspada” karena bukankah kita harus seperti itu adanya? Tetapi jika hal itu kita lakukan semata-mata karena ketakutan pada para perebut kekuasaan, pada para penguasa yang juga ketakutan.. alangkah bodohnya? Tapi bagai mana kita bisa memagari diri dan orang lain dari kekuasaan yang busuk? Apakah demokrasi adalah jalan keluar? Sayangnya seringkali demokrasi di pandang sebagai kekuasaan pada suara terbanyak, padahal tidaklah seperti itu. Suara terbanyak itu bersifat terbatas dan harus di batasi (al-Nisa 59) dan (al-Ahzab: 36). Prilaku brutal dari orang yang menuhankan kekuasaan memang harus di waspadai. Cobalah sekali-kali memandang kanan-kiri, lihatlah orang-orang yang kemaruk kekuasaan itu. Lihatlah di cermin sekali waktu, dan coba sedikit memastikan diri.. apakah bukan kita si gila kekuasaan itu? Jika ya.. hati-hatilah pada orang di cermin itu.. sebab dia jauuuuuh lebih berbahaya dari musuh manapun.. sebab selama musuh tak terlihat, kita harus hati-hati.. sebab jika musuh si gila kekuasaan itu adalah kita sendiri.. dia lah yang paling pintar mencari pembenar atas kegilaannya.. hati-hatilah musuh yang paling berbahaya, adalah musuh yang sulit di prediksi.. ketika musuh adalah diri kita sendiri.. dia akan cepat sekali paham atas segala cara yang kita gunakan untuk menumpasnya, karena dia paham betul, karena dia tahu betul, karena dia adalah kita. Hati- hati lah!

Senin, 20 Juni 2011

Kesibukan yang tidak perlu!

Kadang.. kita bingung kalau kita sepi pekerjaan. Kadang kita di bingungkan oleh bertumpuknya pekerjaan, saking banyaknya, kita lalu menyerah.. haha.. itulah kebanyakan kita yang seringkali kehilangan oriantasi hidup. Memaknai hidup melulu dengan kaca mata duniawi semata-mata. ukuran duniawi memang seringkali mengungkung kita dengan penjara yang lebih keras dari yang kita sangka.

Kadang.. kita lupa.. apa tujuan kita bekerja, mencari pekerjaan, memaknai pekerjaan. Coba sekali-kali kita merenung. Kita sibuk sekali sampai keluarga yang membutuhkan kita, kita bengkalaikan.. hmm itu karena tujuan kita yang mencintai keluarga dengan jalan menapkahi kebutuhan duniawi mereka yang terlalu hebat! salahkah kita? Rasanya tidak juga sih.. tapi seringkali kita berhadapan dengan anggota keluarga yang lebay.. merasa terasing dan di asingkan oleh kita.. padahal bukankah kita mencari nafkah buat mereka juga? Kearifan kadang memang omong kosong belaka. Karena kebijaksanaan itu sangat relatif terhadap kebijaksinian. Segala yang kita bijaksana itu sangat subjektif.

Kadang.. kita terhenyak. Dimana kita? Kita yang terasing oleh pengasingan diri kita sendiri. hmm akhirnya kita terduduk.. Dan makin masuk kedalam ragawi yang makin memasung kita dalam diri kita sendiri. Kesendirian yang kita bangga-banggakan, akhirnya menjadi semu. Karena kita lalu kesepian.. sepi sekali.. Dan ketika kesadaran yang terlambat itu datang; kita tak lagi mampu memahami orang lain, pun begitu.. orang lain akan sangat kesulitan memahami kita.

Kadang akhirnya kita harus mengambil keputusan.. menarik diri.. jauh.... kedalam alam kita sendiri.. ya sudahlah.. dari pada menjadi aneh di depan orang.. lebih baik menarik diri.. mengubur.. menjadi abu.. menjadi angin.. menjadi udara.. menjadi diri...