Oleh Darmawan Soegandar[2]
Sejak dahulu sampai sekarang manusia tidak pernah ada habisnya memikirkan; apa, mengapa dan bagai mana hakikat dan tujuan hidupnya. Manusia menjadikan hal ini sebagai pertanyaan utama, mencari-carinya melalui; agama, ideologi, bahkan ilmu sains dan teknologi (yang dalam berbagai hal selalu dikatakan bertolak belakang oleh gereja katolik). Pencarian manusia pada pertanyaan yang tampaknya sederhana ini membuat manusia kemudian memperlebar atau di perlebar oleh pencariannya sendiri. Walau bagai manapun rasanya, saya hampir sampai pada kesimpulan: pencarian kita terhadap hakikat hanya akan membuat kita semakin tidak tahu! Pencarian yang di lakukan manusia melalui sains dan teknologi hanya menghasilkan pertanyaan dan ketidaktahuan yang baru. Semakin kita dalam mencari tahu, kita seringkali semakin tidak tahu. Apapun dan seberapa banyakpun yang berhasil kita temukan, kita akan semakin sadar bahwa kita semakin banyak mendapat pertanyaan-pertanyaan baru untuk di jawab.
Untuk menjawab pertanyaan itulah orang lalu berpikir, ada yang berpikir serius ada yang berpikir sekedar untuk memenuhi kebutuhan temporal. Konon orang pertama yang menggunakan akal secara serius adalah Thales (Bapak filsafat) gelar ini diterima karena ia mengajukan pertanyaan sederhana :”Apakah sebenarnya bahan alam semesta ini? Ia menjawab ”Air” setelah itu silih berganti filisof zaman itu dan sesudah itu mengajukan jawaban. Keseriusan ini lah yang menurut Prof, I.R. PUDJAWIJATNA menerangkan juga ”Filo” artinya cinta dalam arti seluas-luasnya yaitu ingin dan karena ingin itu selalu berusaha mencapai yang diinginkannya . ”Sofia artinya kebijaksanaan artinya pandai, mengerti dengan mendalam.
Asal Usul
Menurut Ciceros (106-43 SM), penulis Romawi orang yang pertama memakai kata-kata filsafat adalah Phytagoras (497 SM), sebagai reaksi terhadap cendikiawan pada masanya yang menamakan dirinya ”Ahli pengetahuan”, Phytagoras mengatakan bahwa pengetahuan dalam artinya yang lengkap tidak sesuai untuk manusia. Tiap-tiap orang yang mengalami kesukaran-kesukaran dalam memperolehnya dan meskipun menghabiskan seluruh umurnya, namun ia tidak akan mencapai tepinya. Jadi pengetahuan adalah perkara yang kita cari dan kita ambil sebagian darinya tanpa mencakup keseluruhannya. Oleh karena itu, maka kita bukan ahli pengetahuan, melainkan pencari dan pencinta pengetahuan.
Berfilsafat menurut Bambang Q (2009) sebenarnya bukanlah kegiatan yang rumit apalagi sekedar gagah-gagahan dengan teori dan istilah-istilah yang asing. Berfilsafat adalah seni untuk bertanya. Bisa saja hal ini mengakibatkan setiap pertanyaan akan di tanyakan berulang-ulang oleh orang berbeda lalu menghasilkan jawaban yang berbeda pula, sesuai dengan bidang minat dan keahlian orang yang bertanya tersebut. Lihatlah pertanyaan yang pertama kali diajukan oleh Thales. Pertanyaan yang menjadi fenomenal dan diingat sampai sekarang. “mengapa kepercayaan Yunani mengatakan bahwa asal muasal sesuatu itu para dewa dan tidak bersifat tunggal?”. Semua hal menurut kepercayaan bangsa yunani merujuk pada dewa yang berbeda. Hal ini membuat Thales berkesimpulan bahwa para Dewa bukanlah asal muasal sesuatu tetapi penguasa sesuatu! Hal ini mebuat Thales kemudian berusaha mencari jawaban pertanyaannya terdahulu “apakah asal muasal sesuatu?”.
Suatu saat Thales pergi ke tepian sungai Nil. Di tepian sungai Nil inilah Thales merenung kembali, melakukan pencariannya terhadap jawaban dari pertanyaannya sendiri. “apakah asal muasal sesuatu?”. Suatu ketika Thales melihat tepian sungai Nil begitu suburnya dan menjadi tumpuan warga untuk bercocok tanam. Tetapi pada saat yang lain ketika sungai Nil surut karena kemarau, tepian sungai Nil sangat kering sehingga pepohonan mati dan warga pun tak bisa bercocok tanam. Akhirnnya Thales berpikir bahwa asal muasal sesuatu itu adalah Air!
Pemikiran ini dengan cepat mengalami tanggapan dari orang lain. Bantahan yang sederhana adalah jika Air adalah asal muasal sesuatu maka apakah api juga berasal dari air? Padahal sifat api berlawanan dengan air?
Kesederhanaan
Seringkali, dalam banyak diskusi kita mengalami kejumudan pemecahan. Hal ini seringkali diakibatkan karena kita terlalu menganggap bahwa berfilsafat adalah berpikir yang rumit, berpikir yang kompleks. Apakah kompleksitas dan kerumitan berpikir menjadi strata kepintaran dan kehebatan seseorang dalam berfilsafat? Dan apakah benar pemikiran yang telah ditanamkan oleh para guru, dan orang-orang berilmu dulu dimasa kecil kepada kita bahwa, Tuhan hebat karena mampu menciptakan alam semesta yang rumit? Apakah Tuhan hebat karena mampu menciptakan alam semesta yang kompleks?
Dari sisi sains hal ini malah menjadi absurt, karena bukankah setiap masalah dalam ilmu pengetahuan yang ingin dicari adalah pemecahan sederhanya? Bukankah dalam ilmu pengetahuan kita diminta mencari penyederhanaan masalah dalam persamaan yang sederhana dan ringkas? Bukankah dalam setiap perkara matematis, kita selalu diminta mencari penyelesaian yang paling sederhana?
Ilmu, setidaknya memiliki beberapa kaidah, sebagai syarat dan karakteristik ilmu pengetahuan yang diperoleh dari penelitian ilmiah, yaitu : 1. Orde; Suatu fenomena/gejala alam yang ditangkap pancaindra (atau dengan alat bantu) sebagai sesuatu yang teratur dan berjalan dalam pola tertentu. Kita ambil contoh gejala benda yang dipegang dan dilepas maka akan jatuh kebawah, disembarang tempat dan waktu didunia ini benda akan jatuh kebawah. Pola tertentu yang teraturan tersebut memungkinkan kita melakukan generalisasi yang berlaku umum. Orde dalam gejala alam memiliki keteraturan dalam space yang relatif absolut/tetap yang lebih dibandingkan gejala yang melibatkan manusia, manusia lebih mudah berubah bahkan dinamis, sehingga generalisasi gejala tentang manusia harus lebih hati-hati. 2. Determinisme; ilmu percaya bahwa setiap peristiwa mempunyai sebab, determinan, atau antesenden (pendahulu) yang dapat diselidiki. Dapat kemukakan tidak ada yang bersifat tunggal, suatu gejala akan senantiasa berkaitan dengan gejala yang lain. Apakah keterkaitan itu sebagai faktor-faktor pendorong sehingga menyebabkan adanya suatu gejala, apakah dari sebab-sebab tersebut akan timbul adanya akibat tertentu dan seterusnya. 3. Parsimoni (kesederhanaan), setiap ilmu pengetahuan harus dapat mengambarkan maupun menjelaskan gejala yang komplek dalam bentuk yang sederhana - yang mudah dipahami. Sederhana disini bukan berarti kesederhanaan dalam kerangka pemikiran, justru semakin sistematis dan mudah dipahami gejala yang kompleks-pemikiran yang luas tentu lebih baik. 4. Empiris; Demikian juga bahwa kesimpulan yang berlaku umum tersebut harus didasarkan pengamatan (observasi) atau eksperimen, tidak didasarkan pada dugaan maupun pendapat spekulatif tetapi berdasarkan fakta atau data dari gejala yang diteliti. 5. Obyektif; artinya temuan-temuan tersebut memungkinkan orang lain dapat menguji ulang generalisasi tersebut pada waktu, tempat, cara dan situasi yang lain. Demikian juga temuan-temuan tersebut disajikan “apa adanya” tanpa jugment subyektif peneliti. (Rahmad dalam Metode penelitian Fikom Universitas Mercubuana, Modul 1: 4).
Untuk menjelaskan konsep fisika, matematika memegang peranan yang sangat penting. Rumusan matematis akan memberikan kesederhanaan dalam memberikan konsep maupun memudahkan dalam memahami gejala fisika. Matematika merupakan alat yang paling ampuh untuk menjelaskan gejala fisika.[3] Harus juga kita pahami bahwa filosofi yang menjadi ide dasar dari ilmu fisika yaitu: "Behind the complexity of the word around us, there is an underlying simplicity and unity in natur"[4] (adanya kesederhanaan dan kesatuan di alam di balik kompleksnya dunia ini). Memang seringkali kita terjebak pada pemikiran bahwa fenomena-fenomena alam itu kompleks, membingungkan dan mengagumkan. Sehingga kemudian kita percaya bahwa "Tuhan sangat hebat karena menciptakan fenomena yang seperti itu". Namun ternyata fenomena yang menarik itu dapat di jelaskan secara sederhana. Dimana untuk menemukan "kesederhanaan dan kesatuan" tersebut manusia harus mempelajari fenomena tersebut, hingga akhirnya ia mengerti dan dapat memahami kesederhanaannya.
Kesederhanaan adalah properti, kondisi, atau kualitas ketika segalanya dapat dipertimbangkan untuk dimiliki. Kesederhanaan biasanya berhubungan dengan beban yang diletakkan sesuatu pada seseorang yang mencoba untuk menjelaskan atau memahaminya.[5] Sesuatu yang mudah dipahami atau dijelaskan adalah sederhana, berlawanan dari sesuatu yang rumit. Dalam beberapa hal, kesederhanaan dapat digunakan untuk mengartikan kecantikan, kemurnian atau kejelasan. Kesederhanaan juga dapat digunakan sebagai konotasi negatif untuk menandakan defisit atau ketidakcukupan nuansa atau kerumitan suatu benda, relatif terhadap sesuatu yang dianggap perlu.
Konsep kesederhanaan telah dikaitkan dengan kenyataan dalam bidang epistemologi. Menurut razor Occam, semua hal setara, teori tersederhana adalah yang paling benar. Dalam konteks gaya hidup manusia, kesederhanaan dapat menandakan kebebasan dari kerja keras, usaha atau kepanikan. Secara spesifik, kata ini dapat merujuk pada gaya hidup sederhana. Kesederhanaan adalah kriteria meta-ilmiah yang bertujuan untuk mengevaluasi suatu teori (lihat pula razor Occam dan referensinya). Konsep sejenis tentang Parsimoni juga digunakan dalam filosofi ilmu pengetahuan yang merupakan penjelasan atas suatu fenomena yang kurang penting dianggap memiliki nilai yang lebih superior dibanding fenomena yang lebih penting.
Maka, pahamlah saya sekarang kata-kata Albert Einstein[6] “Esensi persis perjuangan kita untuk memahami ialah, di satu sisi, mencoba mencakup aneka ragam pengalaman manusia yang hebat dan rumit, di sisi lain, mencari kesederhanaan dan penghematan di dalam asumsi-asumsi dasar”.
Bukti Kesederhanaan Sains dalam Karya Ilahiah
Matematika adalah sebuah keindahan, sebuah seni, sebuah keseimbangan. Matematika adalah bahasa universal yang akan ditemukan dan dapat dimengerti oleh semua makhluk di jagat raya. Matematika pula yang pertama kali menyingkapkan sebuah rahasia besar yang dikandung alam semeta. “Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) kepada Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuhmu) seimbang”. [Al-Infithaar,( 82:6-7)]. Ilmu sains dulunya adalah musuh agama. Berkembangnya paham sekulerisme dan atheis seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang tidak menerima kepercayaan mistik. Mereka mengambil kesimpulan berani bahwa alam bergerak tanpa ada yang mengatur. Namun perkembangan ilmu saat ini membuat kedudukan mulai berbalik. Sains kini menunjukkan keberpihakannya kepada Agama. Manusia dan alam bila disajikan dalam angka begitu sederhana, sehingga mudah bagi kita mengatakan “Ini semua karena ada yang mengatur”. Bukan Cuma itu, angka juga dapat dikembangkan untuk membantu kita memahami wujud Tuhan.
Semua penjelasan tersebut ternyata bisa di pahami dalam kalimat matematika yang sangat sederhana . Walaupun angka ini pertama kali penulis temukan pada karya fiksi, tetapi realitasnya memang sangat mengagumkan. Bagaimana tidak deret Fibonaci yang pada awalnya tidak begitu menarik ternyata menawarkan kesederhanaan penciptaan oleh Yang Maha Kuasa. Angka ini ternyata menjadi perbandingan yang berulang pada banyak karya ciptaan Tuhan. Contoh sederhana adalah bahwa ternyata perbandingan panjang tubuh kita berbanding dengan jarak antara pusar ke kaki ≍ 1,618. Perbandingan panjang pada bagian-bagian tertentu pada muka, gigi dan lain lain pada tubuh kita mengikuti aturan yang sama. Hal ini juga bisa di lihat di alam pada lingkaran kerang, bunga matahari dan masih banyak lagi di kumpulkan oleh para pencinta Phi di dunia maya.
Pergerakan benda langit juga di buat dalam persamaan yang sederhana mengikuti turunan persamaan kerucut terpancung. Konsep kelinieran benda langit juga di jelaskan dengan KPK, sebuah konsep kelipatan yang bahkan diajarkan di SD! Akhirnya penulis sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Tuhan hebat karena kesederhanaannya bukan kerumitan sistemnya. Pun begitu kita manusia, manusia yang hebat bukanlah manusia yang berpikir kompleks dan rumit. Tetapi, manusia yang hebat adalah “manusia yang mampu memecahkan fenomena rumit dan kompleks dengan cara yang sederhana!”
Footnote:
[1] Disajikan dalam diskusi Filsafat di Sekolah Pascasarja Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.
[2] Program Doktor Ilmu Manajemen, Kons. Manajemen Keuangan, PNS di kementerian Agama, Dosen di FKIP UNINUS Bandung. darmawanmpa@windowslive.com.
[3] Bambang Ruwanto, Gagasan Mengajarkan Matematika Fisika. Jurdik Fisika FPMIPA Universitas Negeri Yogyakarta, 2009
[4] http://digilib.petra.ac.id/...sains-chapter3.pdf
[5] Lihat Richmond, Samuel A.(1996)"A Simplification of the Theory of Simplicity", Synthese 107 373-393. Atau bisa juga di pahami pada Scott, Brian(1996) "Technical Notes on a Theory of Simplicity", Synthese 109 281-289.
[6] Thomas J. McFarlane (..)”Dari Albert Einstein Ke Dalai Lama”, Pustaka Hidayah.
Asal Usul
Menurut Ciceros (106-43 SM), penulis Romawi orang yang pertama memakai kata-kata filsafat adalah Phytagoras (497 SM), sebagai reaksi terhadap cendikiawan pada masanya yang menamakan dirinya ”Ahli pengetahuan”, Phytagoras mengatakan bahwa pengetahuan dalam artinya yang lengkap tidak sesuai untuk manusia. Tiap-tiap orang yang mengalami kesukaran-kesukaran dalam memperolehnya dan meskipun menghabiskan seluruh umurnya, namun ia tidak akan mencapai tepinya. Jadi pengetahuan adalah perkara yang kita cari dan kita ambil sebagian darinya tanpa mencakup keseluruhannya. Oleh karena itu, maka kita bukan ahli pengetahuan, melainkan pencari dan pencinta pengetahuan.
Berfilsafat menurut Bambang Q (2009) sebenarnya bukanlah kegiatan yang rumit apalagi sekedar gagah-gagahan dengan teori dan istilah-istilah yang asing. Berfilsafat adalah seni untuk bertanya. Bisa saja hal ini mengakibatkan setiap pertanyaan akan di tanyakan berulang-ulang oleh orang berbeda lalu menghasilkan jawaban yang berbeda pula, sesuai dengan bidang minat dan keahlian orang yang bertanya tersebut. Lihatlah pertanyaan yang pertama kali diajukan oleh Thales. Pertanyaan yang menjadi fenomenal dan diingat sampai sekarang. “mengapa kepercayaan Yunani mengatakan bahwa asal muasal sesuatu itu para dewa dan tidak bersifat tunggal?”. Semua hal menurut kepercayaan bangsa yunani merujuk pada dewa yang berbeda. Hal ini membuat Thales berkesimpulan bahwa para Dewa bukanlah asal muasal sesuatu tetapi penguasa sesuatu! Hal ini mebuat Thales kemudian berusaha mencari jawaban pertanyaannya terdahulu “apakah asal muasal sesuatu?”.
Suatu saat Thales pergi ke tepian sungai Nil. Di tepian sungai Nil inilah Thales merenung kembali, melakukan pencariannya terhadap jawaban dari pertanyaannya sendiri. “apakah asal muasal sesuatu?”. Suatu ketika Thales melihat tepian sungai Nil begitu suburnya dan menjadi tumpuan warga untuk bercocok tanam. Tetapi pada saat yang lain ketika sungai Nil surut karena kemarau, tepian sungai Nil sangat kering sehingga pepohonan mati dan warga pun tak bisa bercocok tanam. Akhirnnya Thales berpikir bahwa asal muasal sesuatu itu adalah Air!
Pemikiran ini dengan cepat mengalami tanggapan dari orang lain. Bantahan yang sederhana adalah jika Air adalah asal muasal sesuatu maka apakah api juga berasal dari air? Padahal sifat api berlawanan dengan air?
Kesederhanaan
Seringkali, dalam banyak diskusi kita mengalami kejumudan pemecahan. Hal ini seringkali diakibatkan karena kita terlalu menganggap bahwa berfilsafat adalah berpikir yang rumit, berpikir yang kompleks. Apakah kompleksitas dan kerumitan berpikir menjadi strata kepintaran dan kehebatan seseorang dalam berfilsafat? Dan apakah benar pemikiran yang telah ditanamkan oleh para guru, dan orang-orang berilmu dulu dimasa kecil kepada kita bahwa, Tuhan hebat karena mampu menciptakan alam semesta yang rumit? Apakah Tuhan hebat karena mampu menciptakan alam semesta yang kompleks?
Dari sisi sains hal ini malah menjadi absurt, karena bukankah setiap masalah dalam ilmu pengetahuan yang ingin dicari adalah pemecahan sederhanya? Bukankah dalam ilmu pengetahuan kita diminta mencari penyederhanaan masalah dalam persamaan yang sederhana dan ringkas? Bukankah dalam setiap perkara matematis, kita selalu diminta mencari penyelesaian yang paling sederhana?
Ilmu, setidaknya memiliki beberapa kaidah, sebagai syarat dan karakteristik ilmu pengetahuan yang diperoleh dari penelitian ilmiah, yaitu : 1. Orde; Suatu fenomena/gejala alam yang ditangkap pancaindra (atau dengan alat bantu) sebagai sesuatu yang teratur dan berjalan dalam pola tertentu. Kita ambil contoh gejala benda yang dipegang dan dilepas maka akan jatuh kebawah, disembarang tempat dan waktu didunia ini benda akan jatuh kebawah. Pola tertentu yang teraturan tersebut memungkinkan kita melakukan generalisasi yang berlaku umum. Orde dalam gejala alam memiliki keteraturan dalam space yang relatif absolut/tetap yang lebih dibandingkan gejala yang melibatkan manusia, manusia lebih mudah berubah bahkan dinamis, sehingga generalisasi gejala tentang manusia harus lebih hati-hati. 2. Determinisme; ilmu percaya bahwa setiap peristiwa mempunyai sebab, determinan, atau antesenden (pendahulu) yang dapat diselidiki. Dapat kemukakan tidak ada yang bersifat tunggal, suatu gejala akan senantiasa berkaitan dengan gejala yang lain. Apakah keterkaitan itu sebagai faktor-faktor pendorong sehingga menyebabkan adanya suatu gejala, apakah dari sebab-sebab tersebut akan timbul adanya akibat tertentu dan seterusnya. 3. Parsimoni (kesederhanaan), setiap ilmu pengetahuan harus dapat mengambarkan maupun menjelaskan gejala yang komplek dalam bentuk yang sederhana - yang mudah dipahami. Sederhana disini bukan berarti kesederhanaan dalam kerangka pemikiran, justru semakin sistematis dan mudah dipahami gejala yang kompleks-pemikiran yang luas tentu lebih baik. 4. Empiris; Demikian juga bahwa kesimpulan yang berlaku umum tersebut harus didasarkan pengamatan (observasi) atau eksperimen, tidak didasarkan pada dugaan maupun pendapat spekulatif tetapi berdasarkan fakta atau data dari gejala yang diteliti. 5. Obyektif; artinya temuan-temuan tersebut memungkinkan orang lain dapat menguji ulang generalisasi tersebut pada waktu, tempat, cara dan situasi yang lain. Demikian juga temuan-temuan tersebut disajikan “apa adanya” tanpa jugment subyektif peneliti. (Rahmad dalam Metode penelitian Fikom Universitas Mercubuana, Modul 1: 4).
Untuk menjelaskan konsep fisika, matematika memegang peranan yang sangat penting. Rumusan matematis akan memberikan kesederhanaan dalam memberikan konsep maupun memudahkan dalam memahami gejala fisika. Matematika merupakan alat yang paling ampuh untuk menjelaskan gejala fisika.[3] Harus juga kita pahami bahwa filosofi yang menjadi ide dasar dari ilmu fisika yaitu: "Behind the complexity of the word around us, there is an underlying simplicity and unity in natur"[4] (adanya kesederhanaan dan kesatuan di alam di balik kompleksnya dunia ini). Memang seringkali kita terjebak pada pemikiran bahwa fenomena-fenomena alam itu kompleks, membingungkan dan mengagumkan. Sehingga kemudian kita percaya bahwa "Tuhan sangat hebat karena menciptakan fenomena yang seperti itu". Namun ternyata fenomena yang menarik itu dapat di jelaskan secara sederhana. Dimana untuk menemukan "kesederhanaan dan kesatuan" tersebut manusia harus mempelajari fenomena tersebut, hingga akhirnya ia mengerti dan dapat memahami kesederhanaannya.
Kesederhanaan adalah properti, kondisi, atau kualitas ketika segalanya dapat dipertimbangkan untuk dimiliki. Kesederhanaan biasanya berhubungan dengan beban yang diletakkan sesuatu pada seseorang yang mencoba untuk menjelaskan atau memahaminya.[5] Sesuatu yang mudah dipahami atau dijelaskan adalah sederhana, berlawanan dari sesuatu yang rumit. Dalam beberapa hal, kesederhanaan dapat digunakan untuk mengartikan kecantikan, kemurnian atau kejelasan. Kesederhanaan juga dapat digunakan sebagai konotasi negatif untuk menandakan defisit atau ketidakcukupan nuansa atau kerumitan suatu benda, relatif terhadap sesuatu yang dianggap perlu.
Konsep kesederhanaan telah dikaitkan dengan kenyataan dalam bidang epistemologi. Menurut razor Occam, semua hal setara, teori tersederhana adalah yang paling benar. Dalam konteks gaya hidup manusia, kesederhanaan dapat menandakan kebebasan dari kerja keras, usaha atau kepanikan. Secara spesifik, kata ini dapat merujuk pada gaya hidup sederhana. Kesederhanaan adalah kriteria meta-ilmiah yang bertujuan untuk mengevaluasi suatu teori (lihat pula razor Occam dan referensinya). Konsep sejenis tentang Parsimoni juga digunakan dalam filosofi ilmu pengetahuan yang merupakan penjelasan atas suatu fenomena yang kurang penting dianggap memiliki nilai yang lebih superior dibanding fenomena yang lebih penting.
Maka, pahamlah saya sekarang kata-kata Albert Einstein[6] “Esensi persis perjuangan kita untuk memahami ialah, di satu sisi, mencoba mencakup aneka ragam pengalaman manusia yang hebat dan rumit, di sisi lain, mencari kesederhanaan dan penghematan di dalam asumsi-asumsi dasar”.
Bukti Kesederhanaan Sains dalam Karya Ilahiah
Matematika adalah sebuah keindahan, sebuah seni, sebuah keseimbangan. Matematika adalah bahasa universal yang akan ditemukan dan dapat dimengerti oleh semua makhluk di jagat raya. Matematika pula yang pertama kali menyingkapkan sebuah rahasia besar yang dikandung alam semeta. “Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) kepada Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuhmu) seimbang”. [Al-Infithaar,( 82:6-7)]. Ilmu sains dulunya adalah musuh agama. Berkembangnya paham sekulerisme dan atheis seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang tidak menerima kepercayaan mistik. Mereka mengambil kesimpulan berani bahwa alam bergerak tanpa ada yang mengatur. Namun perkembangan ilmu saat ini membuat kedudukan mulai berbalik. Sains kini menunjukkan keberpihakannya kepada Agama. Manusia dan alam bila disajikan dalam angka begitu sederhana, sehingga mudah bagi kita mengatakan “Ini semua karena ada yang mengatur”. Bukan Cuma itu, angka juga dapat dikembangkan untuk membantu kita memahami wujud Tuhan.
Semua penjelasan tersebut ternyata bisa di pahami dalam kalimat matematika yang sangat sederhana . Walaupun angka ini pertama kali penulis temukan pada karya fiksi, tetapi realitasnya memang sangat mengagumkan. Bagaimana tidak deret Fibonaci yang pada awalnya tidak begitu menarik ternyata menawarkan kesederhanaan penciptaan oleh Yang Maha Kuasa. Angka ini ternyata menjadi perbandingan yang berulang pada banyak karya ciptaan Tuhan. Contoh sederhana adalah bahwa ternyata perbandingan panjang tubuh kita berbanding dengan jarak antara pusar ke kaki ≍ 1,618. Perbandingan panjang pada bagian-bagian tertentu pada muka, gigi dan lain lain pada tubuh kita mengikuti aturan yang sama. Hal ini juga bisa di lihat di alam pada lingkaran kerang, bunga matahari dan masih banyak lagi di kumpulkan oleh para pencinta Phi di dunia maya.
Pergerakan benda langit juga di buat dalam persamaan yang sederhana mengikuti turunan persamaan kerucut terpancung. Konsep kelinieran benda langit juga di jelaskan dengan KPK, sebuah konsep kelipatan yang bahkan diajarkan di SD! Akhirnya penulis sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Tuhan hebat karena kesederhanaannya bukan kerumitan sistemnya. Pun begitu kita manusia, manusia yang hebat bukanlah manusia yang berpikir kompleks dan rumit. Tetapi, manusia yang hebat adalah “manusia yang mampu memecahkan fenomena rumit dan kompleks dengan cara yang sederhana!”
Footnote:
[1] Disajikan dalam diskusi Filsafat di Sekolah Pascasarja Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.
[2] Program Doktor Ilmu Manajemen, Kons. Manajemen Keuangan, PNS di kementerian Agama, Dosen di FKIP UNINUS Bandung. darmawanmpa@windowslive.com.
[3] Bambang Ruwanto, Gagasan Mengajarkan Matematika Fisika. Jurdik Fisika FPMIPA Universitas Negeri Yogyakarta, 2009
[4] http://digilib.petra.ac.id/...sains-chapter3.pdf
[5] Lihat Richmond, Samuel A.(1996)"A Simplification of the Theory of Simplicity", Synthese 107 373-393. Atau bisa juga di pahami pada Scott, Brian(1996) "Technical Notes on a Theory of Simplicity", Synthese 109 281-289.
[6] Thomas J. McFarlane (..)”Dari Albert Einstein Ke Dalai Lama”, Pustaka Hidayah.