Judul yang paling tepat mungkin "menentukan ukuran sampel lagi"
bukan apa-apa, karena abah ada yang nanya bagaimana menentukan sampel
lagi, abah mencari tahu apa rumus paling populer dari "rumus menentukan
sampel" di Indonesia. Ternyata
dimenangkan oleh "Rumus Isaac & Michael" rumus ini dirujuk oleh
salah satu buku metodologi penelitian, selanjutnya menjadi rujukan
ribuan tulisan di internet (dan mungkin jutaan
skripsi/tesis/disertasi?).
Abah jadi penasaran.. yang katanya rumus Isaac & Michael rasanya ada yang salah (hehehe sok tau nih abah ) :
1. Cara menamai rumus ini juga kurang tepat, karena ternyata Isaac
& Michael (dalam bukunya Isaac S. and Michael W.B. (1983)
Handbook in research and evaluation, EDITS publishers, California)
hanyalah mencuplik rumus milik KREJCIE & MORGAN dari sebuah jurnal
pendidikan (1970: 607-610)
2. Ada Nilai yang tidak tepat digunakan
untuk P yang selalu = 0,5. Padahal proporsi ini sangat tergantung pada
banyaknya pilihan. Contoh yang diberikan Isaac & Michael adalah
untuk alternatif jawaban Yes dan No saja. Jadi sangat sederhana bagi
mereka yang menggunakan Skala likert Pnya menjadi 0,2.
3. Adopsi
tabel Isaac & Michael juga terlalu hantam kromo oleh para mahasiswa
kita (baik jenjang S1 s.d S3), bisa dicek silahkan beberapa karya tulis
kita yang menggunakan "rumus Isaac & Michael". Kenapa? karena
lagi-lagi karena asumsinya adalah proporsi 0,5
4. Satu lagi
(walaupun abah masih ragu dan harus banyak kukurusuk lagi membaca buku
di perpustakaan) Dalam hal adopsi chi kuadrat ini, kita juga patut
mempertimbangankan nilai λ^2 yang 3,841, karena adanya faktor DK
(degree of Freedom). Bukan apa-apa DK = 1 juga menurut penulisnya adalah
asumsi. Jadi mungkin kita harus memahami lebih dalam persoalan λ ini???
Yang jadi masalah, rumus dan tabel ini telah menjadi pilihan banyak
orang dalam menulis skripsi, tesis dan disertasinya. wah...???
Rabu, 31 Juli 2013
Membangun Madrasah
Iseng-iseng baca data penelitian my lovely Irra Yusnita Darmawan,
Tampaknya dari indikasi Fungsi-fungsi kepala madrasah yang harus diasah
lebih baik adalah rasa memiliki kepala madrasah terhadap madrasah yang
dipimpinnya. Alangkah sayangnya, setelah susah payah berkarir untuk
mencapai posisi kepala madrasah lalu mimpinya terhenti?
Bukti paling sederhana tampaknya adalah tingkat kehadiran kepala madrasah dan kualitas kehadirannya. Dari ribuan madrasah se Indonesia, mayoritas kepala madrasah tidak memenuhi jam mengajar 6 jam. Implikasinya adalah ketidakmampuan kepala madrasah dalam melakukan supervisi akademik terhadap para guru yang harus dikelolanya.
Berikutnya adalah jika seorang kepala madrasah tidak memenuhi hari kerja 5-6 hari kerja, tentu pengambilan keputusan akan seringkali terhambat kecepatannya. Barulah setelah kita memperbaiki kuantitas dan kualitas kehadiran kepala madrasah kita bisa memperbaiki kinerja kepala madrasah. Pertanyaan sederhananya adalah Kinerja apa yang mau diukur jika hadir untuk bekerja saja tidak dipenuhi? bukankah kinerja adalah ukuran kerja?
Tampaknya, yang lalai dipahami oleh para kepala madrasah ini adalah: Kepala madrasah itu adalah GURU DENGAN TUGAS TAMBAHAN KEPALA MADRASAH. JADI TUGAS UTAMANYA ADALAH GURU! Kebanggan menjadi kepala madrasah mungkin telah menggerus terlalu besar kebanggannya-passionnya menjadi seorang guru. Itulah sebabnya mungkin kita masih agak kesulitan menemukan seorang guru dengan tugas tambahan kepala madrasah, kembali menjadi guru biasa tanpa embel-embel tugas tambahan kepala madrasah. Banyak orang mungkin yang menganggap proses mutasi ini sebagai aib, bukan sebagai rotasi, penyegaran dan regenerasi yang lumrah.
Hmm.. Sayang sekali kita akan masih sulit menemukan seorang kepala madrasah dengan visi dan misi yang jelas serta program yang terukur. Sayang sekali kita akhirnya akan sering menemukan seorang siswa madrasah yang galau karena ketakjelasan arah pendidikannya. "Menjadi seorang saintis muda berbakat tak sampai, menjadi kader mubalig muda pun tak mampu". Kita... Madrasah... mungkin telah kehilangan jati diri, tak memahami tugas pokok dan fungsinya... sehingga kita kehilangan arah. Kita sepatutnya mulai berpikir keras, merebut kembali arah yang kita banggakan dulu. Takkah kita lihat di bidang agama kita seringkali kalah oleh SDIT, SMPIT, SMA plus-terpadu-dst (jujurlah pada indikasi jumlah pendaftar dan jumlah dana yang bersedia dikeluarkan para calon orang tua siswa). Dibidang Sainstek kita selalu beralasan tak ada sumber daya yang cukup... Kenapa kita tidak membangun madrasah kita dengan jati diri kita yang dulu saja? Dan menjadi pemenang dalam kekhasan itu?
Kita... Madrasah... mungkin sepatutnya memang harus mulai berpikir lebih keras lagi.
Bukti paling sederhana tampaknya adalah tingkat kehadiran kepala madrasah dan kualitas kehadirannya. Dari ribuan madrasah se Indonesia, mayoritas kepala madrasah tidak memenuhi jam mengajar 6 jam. Implikasinya adalah ketidakmampuan kepala madrasah dalam melakukan supervisi akademik terhadap para guru yang harus dikelolanya.
Berikutnya adalah jika seorang kepala madrasah tidak memenuhi hari kerja 5-6 hari kerja, tentu pengambilan keputusan akan seringkali terhambat kecepatannya. Barulah setelah kita memperbaiki kuantitas dan kualitas kehadiran kepala madrasah kita bisa memperbaiki kinerja kepala madrasah. Pertanyaan sederhananya adalah Kinerja apa yang mau diukur jika hadir untuk bekerja saja tidak dipenuhi? bukankah kinerja adalah ukuran kerja?
Tampaknya, yang lalai dipahami oleh para kepala madrasah ini adalah: Kepala madrasah itu adalah GURU DENGAN TUGAS TAMBAHAN KEPALA MADRASAH. JADI TUGAS UTAMANYA ADALAH GURU! Kebanggan menjadi kepala madrasah mungkin telah menggerus terlalu besar kebanggannya-passionnya menjadi seorang guru. Itulah sebabnya mungkin kita masih agak kesulitan menemukan seorang guru dengan tugas tambahan kepala madrasah, kembali menjadi guru biasa tanpa embel-embel tugas tambahan kepala madrasah. Banyak orang mungkin yang menganggap proses mutasi ini sebagai aib, bukan sebagai rotasi, penyegaran dan regenerasi yang lumrah.
Hmm.. Sayang sekali kita akan masih sulit menemukan seorang kepala madrasah dengan visi dan misi yang jelas serta program yang terukur. Sayang sekali kita akhirnya akan sering menemukan seorang siswa madrasah yang galau karena ketakjelasan arah pendidikannya. "Menjadi seorang saintis muda berbakat tak sampai, menjadi kader mubalig muda pun tak mampu". Kita... Madrasah... mungkin telah kehilangan jati diri, tak memahami tugas pokok dan fungsinya... sehingga kita kehilangan arah. Kita sepatutnya mulai berpikir keras, merebut kembali arah yang kita banggakan dulu. Takkah kita lihat di bidang agama kita seringkali kalah oleh SDIT, SMPIT, SMA plus-terpadu-dst (jujurlah pada indikasi jumlah pendaftar dan jumlah dana yang bersedia dikeluarkan para calon orang tua siswa). Dibidang Sainstek kita selalu beralasan tak ada sumber daya yang cukup... Kenapa kita tidak membangun madrasah kita dengan jati diri kita yang dulu saja? Dan menjadi pemenang dalam kekhasan itu?
Kita... Madrasah... mungkin sepatutnya memang harus mulai berpikir lebih keras lagi.
Kamis, 11 Juli 2013
Kapan Kita Menyerah?
Sekitar tahun 2000-an saya terlibat dalam percakapan menarik dengan seorang pedagang chinese di Dayeuhkolot. Kebetulan waktu itu masih memiliki warung kecil yang melayani kebutuhan anak-anak SD didekat rumah, dan pedagang itu adalah grosir yang biasa memenuhi kebutuhan stok barang di warung. Kita agak akrab, karena anak-anaknya biasa les matematika ke istri saya dan les komputer ke saya.
Dalam sebuah percakapan saya baru tahu bahwa si 'nci ini ternyata awalnya membuka toko tidak di tempat yang sekarang. Tetapi didepan kantor Batalion Zeni Tempur Dayeuhkolot. Iseng saya bertanya: "kenapa pindah? kalau di tempat ini kan tanah milik PJKA? yang sewaktu-waktu bisa di usir? kan sayang pelanggan sudah banyak?"
Sebagai informasi, tokonya si 'nci ini memang banyak pelanggannya. Bahkan mungkin setengah dari pedagang pasar Dayeuhkolot dan Baleendah membeli stok barangnya dari dia. Kebayang kan? 'nci biasa menabung ke bank dengan cara petugas banknya yang datang ke toko mengambil uang. Jangan bayangin uang cuma segepok-dua gepok lho hehehe. 'nci biasa nabung sekitar 4-5 dus mie. Isinya jelas uang bukan mie ^_^ Jumlahnya ya hitung sendiri lah kira-kira dalam pecahan 50-100 ribuan.
Kembali ke cerita awal. keluarga 'nci dan 'ngko ini pindah ternyata karena di toko yang lama itu tidak maju-maju usahanya. Padahal apanya yang kurang? tempat strategis dipinggir jalan utama Dayeuhkolot, bangunan juga representatif. Jauh dengan toko yang sekarang yang tanahnya milik PJKA, di dalam gang lagi??? Saya masih inget ucapan 'nci 10 tahun lalu itu: A' Iwan.. kalau kita usaha itu jangan suka maksa-maksain diri. Kita harur mampu mengukur, kalau tidak maju-maju juga mah berarti tempatnya bermasalah. Coba cari tempat yang lain, jangan gampang menyerah.
Nah kalimat ini awalnya dipandang kontradiktif bagi saya waktu itu. Katanya jangan mudah menyerah, tapi sarannya juga kalau tidak maju-maju di suatu tempat, ya.. pindah!
Akhir-akhir ini saya mulai memahami esensinya. Saya ingat sebuah lagu yang penuh semangat dari izatul Islam judulnya "kembali" point penting dalam hubungannya dengan tema kita ini adalah "kami akan kembali!" jadi walaupun lari atau mundur, hanyalah sekedar memutar-mengatur barisan-memperkuat-lalu kembali menyerang. Dalam konteks cerita 'nci ini dia tidak sedang menyerah ketika memindahkan tokonya, dia sedang memutar-mengatur barisan, mencari celah benteng pertahanan keberhasilan.
Mungkin kita juga harus mulai berpikir dengan jernih, bahwa keluar atau pindah dari suatu lingkungan bukanlah tanda menyerahnya kita. Kita sedang "berguru pada air" yang berusaha mencari celah, bagaimana caranya agar bisa sampai ketempat yang lebih rendah. Dalam konteks kita, tampaknya kita harus lebih arif memutuskan kapan kita bertahan, maju terus, atau memutar mencari jalan yang lebih baik. Yang penting adalah tujuan tercapai!
Dalam sebuah percakapan saya baru tahu bahwa si 'nci ini ternyata awalnya membuka toko tidak di tempat yang sekarang. Tetapi didepan kantor Batalion Zeni Tempur Dayeuhkolot. Iseng saya bertanya: "kenapa pindah? kalau di tempat ini kan tanah milik PJKA? yang sewaktu-waktu bisa di usir? kan sayang pelanggan sudah banyak?"
Sebagai informasi, tokonya si 'nci ini memang banyak pelanggannya. Bahkan mungkin setengah dari pedagang pasar Dayeuhkolot dan Baleendah membeli stok barangnya dari dia. Kebayang kan? 'nci biasa menabung ke bank dengan cara petugas banknya yang datang ke toko mengambil uang. Jangan bayangin uang cuma segepok-dua gepok lho hehehe. 'nci biasa nabung sekitar 4-5 dus mie. Isinya jelas uang bukan mie ^_^ Jumlahnya ya hitung sendiri lah kira-kira dalam pecahan 50-100 ribuan.
Kembali ke cerita awal. keluarga 'nci dan 'ngko ini pindah ternyata karena di toko yang lama itu tidak maju-maju usahanya. Padahal apanya yang kurang? tempat strategis dipinggir jalan utama Dayeuhkolot, bangunan juga representatif. Jauh dengan toko yang sekarang yang tanahnya milik PJKA, di dalam gang lagi??? Saya masih inget ucapan 'nci 10 tahun lalu itu: A' Iwan.. kalau kita usaha itu jangan suka maksa-maksain diri. Kita harur mampu mengukur, kalau tidak maju-maju juga mah berarti tempatnya bermasalah. Coba cari tempat yang lain, jangan gampang menyerah.
Nah kalimat ini awalnya dipandang kontradiktif bagi saya waktu itu. Katanya jangan mudah menyerah, tapi sarannya juga kalau tidak maju-maju di suatu tempat, ya.. pindah!
Akhir-akhir ini saya mulai memahami esensinya. Saya ingat sebuah lagu yang penuh semangat dari izatul Islam judulnya "kembali" point penting dalam hubungannya dengan tema kita ini adalah "kami akan kembali!" jadi walaupun lari atau mundur, hanyalah sekedar memutar-mengatur barisan-memperkuat-lalu kembali menyerang. Dalam konteks cerita 'nci ini dia tidak sedang menyerah ketika memindahkan tokonya, dia sedang memutar-mengatur barisan, mencari celah benteng pertahanan keberhasilan.
Mungkin kita juga harus mulai berpikir dengan jernih, bahwa keluar atau pindah dari suatu lingkungan bukanlah tanda menyerahnya kita. Kita sedang "berguru pada air" yang berusaha mencari celah, bagaimana caranya agar bisa sampai ketempat yang lebih rendah. Dalam konteks kita, tampaknya kita harus lebih arif memutuskan kapan kita bertahan, maju terus, atau memutar mencari jalan yang lebih baik. Yang penting adalah tujuan tercapai!
Langganan:
Postingan (Atom)