Apakah benar madrasah adalah sekolah kelas dua? Kata om wiki Madrasah merupakan sebuah kata dalam bahasa Arab yang artinya sekolah. Asal katanya yaitu darasa (baca: darosa) yang artinya mengajar. Di Indonesia, madrasah dikhususkan sebagai sekolah (umum) yang kurikulumnya terdapat pelajaran-pelajaran tentang keislaman. Madrasah Ibtidaiyah (MI) setara dengan Sekolah Dasar (SD), Madrasah Tsanawiyah (MTs) setara dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Madrasah Aliyah (MA) setara dengan Sekolah Menengah Atas (SMA).
Setelah kurang lebih 6 tahun berada di lingkungan madrasah, ada yang menggelitik saya mengenai ketokohan kepala madrasah. Baik dalam fungsinya sebagai pendidik/guru maupun sebagai pimpinan para guru di madrasah. Kepala Madrasah sedikit banyak akan menentukan arah dan tujuan para guru, dan para murid yang jumlahnya ratusan sampai ribuan dalam satu madrasah itu arah dan tujuannya di tentukan oleh para gurunya. Jadi kedudukan kepala Madrasah tentu bukan kedudukan main-main. Bukan kedudukan lelucon yang bisa dikerjakan sambil angin lalu. Alangkah bodoh kalau sampai ada kepala madrasah model ini. Coba kita sedikit berandai. Sebagai guru, seorang kepala madrasah berkewajiban mengajar sebanyak 6 jam. Kurang lebih setara 2 kelas dengan jumlah murid 30-40 siswa. Untuk tugas yang relatif paling sepele dari seluruh tugas dan kewajiban kepala madrasah ini, coba kita cacah; berapa orang kepala madrasah negeri seluruh Indonesia yang memenuhinya? Banyak alasa yang di kemukakan seperti pekerjaan sebagai kepala yang super sibuk dll. Tetapi marilah kita mencoba sedikit jujur.. "emang jadi kepala madrasah itu sibuk beneran? hehe...". Kenapa pemenuhan kewajiban ini menjadi penting? Kurikulum, metode, dan tektek bengek lain seputar pendidikan itu terus berkembang, tanpa mengalami langsung permasalahan pendidikan, tanpa tahu betul seluk beluk problematika pedidikan di lapangan.. hanya akan membuat kepala madrasah sangat pintar, sangat berprestasi, sangat mumpuni.. hanya pada saat dia diangkat menjadi kepala madrasah. Bagai mana tidak, dia telah kehilangan pengalaman sebagai guru terbaiknya. Mungkin benar ketika sang kepala madrasah diangkat menjadi kepala dia adalah orang / guru paling berprestasi, tapi tanpa mengasah diri dengan pengalaman.. dia hanya akan berkarat, keropos, dan lama-lama patah karena tak mampu menghadapi zaman, menua da mati.
Kedua, ada sedikit ketidaknyamanan bagi saya setiap melihat kepala madrasah yang memiliki tipikal "aku atasan para guru". Dalam prinsip manajemen jaman fir'aun pacara dulu, mungkin prinsip ini benar, baik dan layak di terapkan. Tetapi pada jaman sebegini moderen? PLEASE DEH! ini jaman ketika setiap organ madrasah adalah teman sejawat, rekan seperjuangan untuk mencapai tujuan masing-masing (kalau tujuan masing-masing menjadi tuhan). Bagai mana tidak? bukankah tujuan kita adalah keberhasilan? Jika seorang guru yang kita pimpin berhasil, apakah itu bukan berarti keberhasilan kepala madrasah? pun begitu sebaliknya bukankah keberhasilan kepala madrasah merupakan akumulasi keberhasilan para guru? Andai saja setiap orang di madrasah bahu membahu mencapai tujuan (yang katanya tujuan masing-masing itu), maka madrasah tentu akan maju dengan sendirinya. Pola kepemimpinan pelayan lah yang harus kita tonjolkan, karena sebagai pegawai negeri kita memang pelayan! abdi negara, pelayan masyarakat! Masyarakat mana yang paling dekat dengan kepala madrasah yang harus di layanai? Tentu para guru dan muridlah masyarakat yang terdekat itu.
Ketiga, Andai saja hal pertama dan kedua dipenuhi kepala madrasah. Maka kepala madrasah akan menemui kenyataan bahwa; pergerakan, kemajuan pendidikan itu sebegitu cepat. Sehingga pengetahuan para guru yang lulusan 5, 10, bahkan 15 tahun yang lalu telah jauh kadaluarsa. Maka kepala madrasah akan paham, bahwa pengetahuan itu harus secepatnya di upgrade. Ada banyak cara untuk itu (1) berikan kebebasan kepada para guru untuk mengejar pendidikan yang lebih tinggi. Jangan takut tersaingi! sebab bukankah kebahagiaan kita sebagai guru jika murid kita menjadi orang yang leih pandai dari kita? bukankah itu tujuan pendidikan yang sebenarnya? dan bukankah kita sebagai kepala madrasah akan bisa berbangga mengatakan "lihat di madrasah yang saya pimpin pendidikan gurunya yang sarjana sekian orang, yang pascasarjana sekian orang.." dan bukankah hal itu akan menjadi perstise tersendiri bagi madrasah kita? dan berarti prestise bagi kita sebagai kepala madrasah? Bayangkan jika di madrasah yang kita pimpin penuh dengan sarjana, magister, doktor? Bukan tidak mungkin madrasah yang kita pimpin akan menjadi madrasah percontohan kan? Karena pendidikan tinggi akan menimbulkan idealisme baru, inovasi baru?! (2) kembangkan MGMP para guru, kata siapa MGMP butuh biaya? Apa tidak bisa kalau MGMP dikembangkan dari, oelh dan untuk guru? sebagai kepala Madrasah paling banter keterlibatan kita dalam pembiayaan MGMP sebatas kalau ada IHT belaka, itupun hanya temporal kan? Tetapi bayangkan pengetahuan dari hasil diskusi yang dilakukan secara terus menerus oleh para guru tersebut? Sebagai penghargaan; apa susahnya para guru diberi sedikit konsumsi ketika diskusi di MGMP tidak perlu mahal-mahal yang penting perhatian dari kepala madrasah! sedikiiiit itu juga sudah lebih dari cukup, minimal ada lah...
Keempat, kenapa kita harus selalu mencari alasan dana untuk menutupi ketidakmampuan kita memimpin madrasah? Apa benar madrasah miskin sumber dana? haha jangan mengada-ada lah.. madrasah di kementerian agama itu sumber dananya berlimpah, sangat berlimpah malah. Apa yang tidak bisa kita kerjakan? Apapun bisa dengan dana sebesar itu! Bisa! Sangat bisa malah! Kenapa kita mesti berhitung materi? bukankah ketika keberhasilan datang, materi akan mengikuti? Kenapa uang mesti menjadi tuhan? Kenapa tidak bersabar sampai saatnya tiba? Dengan dana yang berlimpah itu ada banyak program yang bisa kita kerjakan, mulai dari peningkatan mutu guru, peningkatan mutu pembelajaran, dan kenapa tidak untuk peningkatan mutu kepala madrasah? Bukankah hal itu halal dan sah?
Kelima, kuantitas murid/siswa tentu akan menjadi indikator utama bagi kalangan masyarakat awam untuk menilai kualitas sebuah madrasah. Sebuah indikator yang tidak begitu baik, tetapi realita yang tidak bisa di salahkan kan? Bagaimana meningkatkan jumlah murid? Dengan prestasi dan ramainya kegiatan akademik/non akademik tentu saja. Biasanya para kepala madrasah akan berkilah mengenai keterbatasan dana. Yang menjadi masalah; apakah setiap kegiatan akademik dan non akademik itu selalu berkorelasi dengan biaya? Inilah yang jadi masalah, kita relatif tidak mau berkorban dulu, berinvestasi. Mungkin karena intuisi bisnis yang rendah, mungkin karena takut melepaskan uang yang sudah di tangan tidak kembali lagi hehe. Saudaraku, jangan begitu lah... yakinlah dengan memilih guru-guru dengan idealisme dan inovator terbaik untuk mengelola kegiatan tersebut pasti investasi kita akan kembali. Itupun kalau kita ingin memandangnya sebagai investasi.
Ada banyak cara sebenarnya dan sudah saya coba dokumentasikan dengan baik rencana itu dalam buku saya "manajemen kinerja dan penerapannya di dunia pendidikan" dan tentu saja dalam buku saya "Masterplan tahunan sebagai Kepala Madrasah" hehe sebagi persiapan kelak kalau kesempatan itu datang! (do'a yang kadang malu saya ucapkan.. gimana tidak.. minta jabatan? hehe kapok! ngga gua banget!