Didalam Kristen, prinsip utama dari menyerah adalah "Dying to Self", atau "emptying of self" untuk mengikuti kristus untuk menjalani kehidupan mempercayainya, seperti yang di jelaskan dalam bibel: If any [man] come to me, and hate not his father, and mother, and wife, and children, and brethren, and sisters, yea, and his own life also, he cannot be my disciple.14:26. For to me to live [is] Christ, and to die [is] gain. Phl 1:21. For ye are dead, and your life is hid with Christ in God. 3:3. Dan prinsip kedua dalam kristen tentang menyerah adalah "allowing Christ to "take our place" through the believer, in other words, the emptying of self so that God may live through the believer as evidenced in Phl 1:21. sedangkan prinsip utama yang lain adalah konsep menyerah pada God's Will: "Surrendering to God's will entails both the "surrender of our will to His in macrocosm" (semua ayat diambil dari Injil King James version)
Apakah menyerah bisa dimaknai sama dengan tawakal dalam islam? banyak dari orang Islam yang dengan bodoh mengartikan "Jika kamu bertawakkal kepada Allah dgn sepenuh tawakkal maka Dia pasti akan memberimu rizki sebagaimana Dia memberi rizki kepada seekor burung ia pergi meninggalkan sarangnya dalam keadaan kosong dan pulang kembali kesarangnya dalam keadaan penuh temboloknya ”. Padahal arti dan maksud dari hadist tersebut bahwa pergi dan pulangnya burung itu jelas dalam rangka usaha dan kerja mencari rizki. Jika burung itu hanya duduk dan diam saja disarangnya tanpa beranjak pergi dan terbang mencari rizki tentu makanan itu tak akan mungkin datang dengan sendirinya kesarangnya.
Tawakal tentu berbeda dengan menyerah. Pengaruh Sikap Tawakkal Betapa sikap tawakkal ini dapat menanamkan pengaruh dan efek yg positif baik dalam pribadi maupun pihak lain pernah diceritakan oleh Prof Dr Yusuf Qardhawi dalam kitab Ats-Tsaqafah al-Arabiyah Al-Islamiyah Bainal Ashalah wal-Mu’asarah dimana diuraikan bahwa ketika beliau menghadiri suatu persidangan yang diselenggarakan oleh orang-orang muslim Italy beliau berjumpa dengan seorang Italy yang telah memeluk Islam dan menceritakan sebab-musabab masuk Islam. Ia berkata Saya pernah berjumpa seorang muslim Marocco yang sedang berjualan barang-barang kelontong dengan gerobak dorong dimusim salju. Ia pergi hilir mudik dengan menjajakan dagangannya tanpa menghiraukan udara yang dingin menusuk tulang. Orang Italy bertanya kepadanya Apa yang mendorong anda untuk berjualan dalam cuaca yg sangat dingin ini ? si pedagang menjawab Untuk mencari rizki Allah. Ia bertanya lagi “Apakah rizki dari berjualan ini mencukupi” jawabnya “Alhamdulillah segala puji bagi Allah dari hasil berjualan ini sebagian saya pergunakan untuk biaya hidup di Italy ini dan sebagian saya kirimkan kepada keluarga dan ayah bunda di Marocco”. Ia bertanya ” Apakah anda bertanggung jawab terhadap kehidupan mereka ?” Si pedagang menjawab “Keridhaan Allah berada diatas keridhaan mereka dan memelihara silaturrahmi akan memberikan keberkatan dalam hidup “. Orang italy berkata “Ini berarti anda ridha dan suka dengan kehidupan yg sedang anda jalani”. Ia menjawab “Ya saya ridha dan menerima dan saya senantiasa terus bertawakkal kepada Allah swt semoga Dia selalu melimpahkan nik’mat karunia-Nya kepada saya”. Orang Italy bertanya lagi “Siapa yg mengajarimu semua ini” ? “Agamaku Islam yang telah mengajariku terhadap semua ini” jawabnya lugas. Orang Italy bertanya pula “Bagaimana caranya bila saya ingin mempelajari agama yang anda anut itu ?” si pedagang menjawab “Saya ini orang awam tidak berpendidikan tinggi jika anda ingin mempelajari tentang Islam kiranya anda bisa bertanya kepada pengurus mesjid disebelah sana dan bila anda mau saya bisa mengantarkannya kesana untuk menemui pengurus mesjid itu”. Maka mereka berdua pergi ke Mesjid tersebut. Selang beberapa waktu kemudian orang Italy itu masuk Islam dan selanjutnya giat mempelajari ajaran -ajaran Islam dengan tekun hingga akhirnya ia menjadi aktivis dakwah yang potensial menyiarkan agama Islam dinegerinya Italy.
Menyerah yang kemudian di pahami banyak orang hanya akan mengantarkan orang yang bersangkutan pada dua kemungkinan. (1) dia layak untuk tidak melanjutkan hidup, karenanya kemudian banyak orang yang memutuskan untuk bunuh diri! dan (2) dia layak untuk tidak menikmati kemenangan apa-apa. Kemenangan yang saya maksud tentu bukan sekedar kemenangan duniawi. Sebagai seseorang yang tidak religius dan terkadang mentertawakan religiusitas seseorang, saya tidak bisa menapik bahwa ukuran-ukuran duniawi akan menjadi ukuran yang paling mudah didekati. Karena ukuran ini secara kuantitatif mudah kita analisis apakah terdapat penurunan, kenaikan atau stagnan. Ukuran duniawi acapkali kemudian juga akan terpaksa kita pakai untuk mengukur diri kita sendiri ketika menatap cermin, apakah kita akan menyerah atau mencoba lagi, lalu mencoba lagi, lalu mencoba lagi, sambil berharap siapa tahu Tuhan kemudian bosan kemudian memberikan apa yang kita kejar?
Sikap menyerah tentu bukan pilihan bagi siapapun. yang menjadi masalah kemudian adalah kapan kita memastikan harus menyadari bahwa tidak ada jalan lain selain menyerah. Atau kapan kita harus berpikir bahwa; masih ada jalan? Karena kita tentu saja tidak tahu, apa yang di takdirkan Tuhan kepada kita? Seringkali istri saya meminta saya dengan idiom-idiom agama; qonaah, tawakal.. dll dst ketika saya bercerita padanya untuk mengusahakan masa depan baru...
Keyakinan utama saya terhadap kapan kita harus menyerah adalah sampai kita berada pada satu titik; bahwa ada jalan lain sebagai jalan kompromi. Jalan yang akan memastikan kita untuk tetap pada posisi kita berdiri sekarang, berbelok, mundur atau apapun (dan ini sulit untuk dijelaskan oleh siapapun). Sebagai orang yang agak sekular, saya percaya bahwa masa depan itu adalah catatan yang kita tulis sendiri! apapun itu! dan menyerah? wah... Ngga gua banget deh!
Kepada anda setiap petarung: bersiaplah, kemenangan sebentar lagi tiba.. begitu anda memutuskan bahwa di kamus yang anda pegang.. anda tidak menemukan satu kata penting "menyerah"!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar