Minggu, 14 Oktober 2012

Memperbaiki Madrasah Kita

Kesulitan kita sebagai sebuah organisasi menurut saya adalah ketiadaan budaya innovasi dalam diri setiap warga madrasah (terutama kepala madrasah). Betul bahwa innovasi itu memerlukan investasi, dan wajar jika kepala sekolah ragu untuk berinvestasi (teori ekonomi menyebutnya bird in hand theory (yang dalam budaya/kearifan lokal sunda teori ini disebut "moro julang ngaleupaskeun peusing")). Cara menghitung investasi dalam benak para kepala ini sayangnya salah dalam menarik asumsi seperti yang saya jelaskan pada note saya http://darmawansoegandar.blogspot.com/2011/07/disorientasi-kepala-madrasah.html . Perbaikan citra madrasah sangat tergantung pada motivasi warganya sendiri. Andai saja, para pemimpi seperti saya dan anda, kita… banyak? bergerak bersama-sama! saya yakin perbaikan madrasah bukan mimpi lagi, karena saya yakin yang menginginkan perbaikan citra madrasah itu banyaaaaak sekali. sayangnya belum ada koordinasi yang baik, di antara para pemimpi ini.
Dari sisi pendanaan (financing) madrasah itu power full. Kita cuma butuh orang-orang yg sungguh2 mengambil "keputusan investasi" dan sedikit mengendalikan diri dalam "keputusan deviden". Menurut saya pada sisi sumber daya aparatur, madrasah negeri kita juga telah full team. Kita punya guru yang berkualifikasi (sakola tur nyakola), kepala madrasahnya pun rata2 berpendidikan baik. Kalau perbaikannya mau ekstrim saran saya:
1.       Sertifikasi ulang kepala madrasah negeri. Sertifikasi ini tidak lagi dilakukan oleh pokjawas kantor kabupaten atau kanwil, tetapi oleh tim independen dari PTK negeri setempat dengan 3 kompetensi dasar:
a.       Paper rencana kerja (renstra/ renja) madrasah, penilaiannya ditekankan pada kemampuan inovasi dan manajerial baik sumber daya aparatur maupun pendidikan.
b.      Psikotes dan TPA
Psikotes lebih ditekankan pada kemampuan pengendalian diri EQ sedangkan TPA pada IQ, SQ sendiri dilihat pada oral/ presentation test di hurup a).
2.       Kepala Madrasah yang tidak lolos, dilepas tugas tambahannya dan kembali menjadi guru (budaya ini akan dibiasakan sehingga mirif budaya PT yg memandang lumrah seorang rektor kembali menjadi dosen biasa. Bahkan menjadi bawahan rektor (direktur pasca).
3.       Kepala madrasah yang kosong diisi dengan program sertifikasi (metode yg sama dengan di atas) peserta terbuka bagi setiap guru dengan kualifikasi III/c dan berpendidikan minimal S2. Peserta diuji secara terbuka tanpa surat rekomendasi (biasanya ini menjadi alat KKN). Untuk menyaring jumlah yg mungkin banyak, uji Psiko dan TPA dilakukan lebih dahulu, kandidat 2n dari n yang dibutuhkanlah yg mengikuti oral/ presentation test.
Jika independensi test ini bisa dijaga. Saya yakin akan menghasilkan kepala madrasah negeri yang baik. Kenapa kepala negeri yang menjadi fokus? Setidaknya kita berharap kepala negeri sebagai ketua KKM atau Korwil (untuk MI), yang berkualifikasi baik, akan melakukan fungsi pembinaan pada anggotanya.
Saya percaya sebagai langkah awal 50% perbaikan akan berjalan dengan cepat. Langkah berikutnya barulah pada pembinaan dan pengawasan. Pembinaan dan pengawasan ini harus dilakukan oleh Pokjawas yang kompeten, sehingga langkah ke dua (dengan metode yg mirif) adalah membenahi institusi pokjawas. Pokjawas adalah institusi serius dan harus dikelola serius. Stigma pokjawas sebagai tempat peristirahatan terakhir (pegawai menjelang pensiun atau pejabat non job) harus segera di hapus!
Kedua langlah inilah yg menurut saya mendesak untuk dilakukan pa amin. Sayang... saya hanya semut kecil di tengah sarang ribuan gajah.
Tetapi seperti  yang katakan Amin Faqat (guru di SMPN 8 Bandung) semoga kita bisa 'menyemut' hingga mampu mengalahkan 'gajah'. Atau menurut saya lebih ke, semut yang berhasil berkomunikasi baik dengan gajah.  Yang sulit mungkin ketiadaan jalur komunikasi. Bayangkan... bagi saya yang ada di dalam saja sulit? Apalagi buat mereka yg berada diluar pagar? Tetapi tentu sebagai seorang guru abah dan kita semua tidak bisa menyerah begitu saja.
Untuk di pahami juga bahwa betul seperti yang di katakana Dr. Agustin Hartati (guru di SMAN 8 Bandung), kalau sekolah umum dianggap no 1 dan madrasah no 2 itu pendapat umum. Kenyataannya idem ditto mereka itu. Dari segi rekrutmen mirip, dari segi kepemimpinan banyak kemiripan, dari segi kinerja begitu. Kebanyakan Kepsek SMA di Bandung tidak melaksanakan kewajibannya mengajar di kelas. Jadi memang beliau-beliau itu sudah mintul tentang pedagogik dan profesionalime guru, so...bagaimana mereka bisa membina kalau tidak tahu permasalahannya? Hal ini sesuai dengan riset yang saya lakukan pada sekitar januari – juli 2012, bahwa riset saya menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan persepsi yang signifikan dari SD-MI, SMP-MTs, SMA/SMK - MA.
(note ini merupakan intisari komentar saya pada komentar rekan-rekan anggota PaGI http://www.facebook.com/groups/padepokanguru/ atas note saya sebelumnya http://darmawansoegandar.blogspot.com/2011/07/disorientasi-kepala-madrasah.html )

Kamis, 11 Oktober 2012

Gaya Mengajar Profesor dalam Pandangan Mahasiswa sebagai Konsumennya


Sebagai konsumen, apakah sebenarnya yang di inginkan mahasiswa dari profesornya? Sering kali si mahasiswa ini, setiap kali bertemu dengan profesornya, dipaksa untuk mendengarkan winning story sang profesor, lagi.. dan lagi. Sebagai konsumen, kita tentu tak mungkin membuang waktu untuk terus menerus diminta mendengarkan promosi keunggulan produsen dari produk? bukankah yang ingin kita beli itu produk (ilmu)? bukan produsennya (sang profesor sebagai individu)?

Kita juga sering dihadapkan pada profesor yang dari pertemuan ke-1 sampai pertemuan ke-15 membicarakan hal yang itu-itu lagi. seperti halnya ketika kita ingin membeli mobil, mustahil kita ingin mendengarkan keunggulan ban dari mobil yang ingin kita beli secara terus menerus kan? tentu kita sebagai konsumen ingin tahu lebih banyak; apa keunggulan mesinnya? apa keunggulan pintunya? apa keunggulan joknya dst. Konsumen ingin puas! itulah hakikat melayani dalam transaksi jasa.

Yang konsumen ingin pahami adalah Ketika sang profesor diangkat menjadi GURU BESAR karena penelitian-penelitiannya... maka dari pertemuan ke-1 sampai 15, si konsumen ingin mendengarkan penelitian si profesor dalam penelitian dengan objek (nama mata kuliah) yang sama tetapi setiap pertemuan variabel penelitiannya berbeda, locusnya berbeda, waktunya berbeda.. terus semakin dalam, semakin luas pada bidang kajian si profesor selama 15 pertemuan. Tentu jangan sampai si konsumen (mahasiswa) dijejali hanya 1 pengalaman penelitian dari sang profesor (jadi jika dia hanya menceritakan satu penelitian, jangan-jangan sang profesor sejak disertasinya selesai tak penah meneliti lagi?)

Ketika sang profesor diangkat menjadi GURU BESAR karena buku-buku yang dia tulis? maka layaklah jika si konsumen ingin mendengar langsung dari sang profesor isi bukunya dari bab 1 sampai akhir.. setiap pertemuan dari pertemua ke-1 sampai 15, akan berganti terus tema sampai isi buku sang profesor di kupas sedalam-dalamnya, seluas-luasnya. sampai tidak ada satupun isi buku sang profesor dalam mata kuliah yang bersangkutan tidak dipahami oleh si konsumen (mahasiswa).

Ketika sang Profesor diangkat menjadi GURU BESAR karena pengalaman praktisnya, sebagai pejabat di sebuah organisasi atau pemilik usaha, maka layaklah jika si konsumen ingin mencuri keberhasilan sang profesor. dengan mengetahui setiap langah sang profesor mencapai posisi keberhasilan itu. selama 15 pertemua, wajar jika si mahasiswa ingin mengetahui setidaknya 15 langkah mencapai posisi strategis itu, atau 15 kasus yang diselesaikan dengan baik dan menjadi jalan sukses sang profesor dalam profesinya.

Jadi jika kita belum mampu memenuhi 15 kebaruan dalam pengetahuan mahsiswa sebagai konsumen, mungkin kita harus mulai meraba diri, memahami, lalu mempersiapkan yang jauh lebih baik. Sebab dimanakah makna kemanusiaan kita ketika kita tega menapikkan harapan orang, harapan mahasiswa/murid yang diberikan pada pundak dan pikiran kita.. agar mereka menjadi orang yang selalu baru setiap akhir pertemuan dengan profesornya? menjadi manusia baru karena pengetahuan yang terbarukan? Kasihan si konsumen jika mereka pulang dengan tangan hampa tak mendapat ilmu yang dia telah bayar itu, dia mungkin merasa bodoh atau di bodohi, karena membeli sesuatu yang akhirnya tak ia dapatkan. Karena bukankah mahasiswa itu posisi prestisius di masyarakat?

Kasihan sekali.. mereka.. mahasiswa yang mengalami nasib buruk ini.