Setelah
selesai membaca The Class, Saya merasa makin paham bahwa : "Kebanyakan
Sekolah dan Universitas Besar beserta para guru dan Profesor hebatnya
seringkali hanya mengajarkan bagaimana caranya menjadi berhasil, tetapi
sering lupa mengajari murid dan mahasiswanya cara menjadi bahagia."
Setelah
berjam-jam sakit perut dan mual. Memikirkan status abah sendiri tentang
keberhasilan-kebahagiaan. Akhirnya abah menemukan entri poinnya:
Sebagai akademisi, kita memang dihadapkan pada dua kutub pemikiran.
Secara teoritis (Teori kepuasan Maksimum), pemenuhan kebutuhan manusia
akan membentuk sebuah kurva fungsi kuadrat dengan a negatif. Sehingga
dalam upayanya memenuhi kepuasan,
manusia akan menemui titik maksimum (-b/2a). Dan kemudian lambat-laun
keinginan manusia terhadap kebutuhan tersebut akan menurun.
Dilain
pihak, agama mengajari kita bahwa manusia adalah mahluk yang tidak akan
ada puasnya. Manusia akan memandang dunia layaknya meminum air laut;
makin di minum semakin haus. Kenapa kedua pemikiran ini bisa bertolak
belakang? Di mana salahnya. Padahal.. sebagai pembelajar kita
berkeyakinan bahwa Tuhan dan pengetahuan mustahil bertolak belakang?
Baiklah kita akan mulai menggabungkan kedua perspektif ini. Pendekatan
paling lazim yang digunakan para pembelajar dalam memahami sebuah
penomena adalah membuat model matematis, persamaan regresi linier dan
kuadratis biasanya menjadi pilihan utama. Secara sederhana model
kebahagiaan/ keberhasilan = intercept + beta kemakmuran + error term.
Kita sering kali dihadapkan pada realita bahwa semakin tinggi kemakmuran
maka kebutuhanpun akan ikut meningkat layaknya sebuah garis sejajar
yang tidak akan berpotongan menemukan titik kebahagiaan/ keberhasian
kan?
Itulah sebabnya kita membutuhkan intercept sebagai titik awal
agar memperjelas posisi beta yang selalu bergerak sepanjang garis
kepuasan tadi.
Didalam Islam, ada dua form utama yang menjadi
panduan mencapai kebahagiaan: rukun iman dan rukun Islam. Pertanyaannya
adalah siapakah yang harus beriman itu? Al Qur'an menjelaskan bahwa
kewajiban itu dibebankan pada Jin dan Manusia artinya pada yang
hayat-hidup. Oleh karena itu bisa kita simpulkan bahwa hidup adalah
intercept, hidup adalah konstanta kebahagiaan. Jadi syarat untuk
bahagia-berhasil adalah hidup! Tidak ada kebahagiaan-keberhasilan tanpa
hidup!
Oleh karena kesimpulan pertama itu maka target pertama kita
mencapai keberhasilan-kebahagiaan adalah bagai mana caranya agar tetap
hidup. Kebutuhan dasar yang meliputi makan, tidur, tinggal dan tanpa
rasa takut haruslah dipenuhi dengan cara yang sederhana. Itulah kenapa
kita diajari "berhentilah makan sebelum kau kenyang" atau dalam gaya
khas mafia Italy "saya sudah makan tiga kali, kenapa harus pusing untuk
memikirkan makan empat kali?".
Berikutnya, rukun islam dimulai dari
pernyataan hayat juga, bersaksi, yang hanya bisa dilakukan oleh yang
hidup. Kemudian kebutuhan akan harapan-do'a yang mengambil shalat
sebagai bentuknya... dan seterusnya sampai menunaikan ibadah haji. Semua
kebutuhan ini memerlukan kemakmuran sebagai tools, sebagai alat.
Dan jika yang terakhir ini telah kita penuhi, berhentilah pada garis
titik ini. Kemudian telusurilah titik ini sepanjang waktu yang tersisa.
Pertahankanlah titik maksimum ini bertahan pada Yt = Xt. Begitu kita
berusaha untuk menambah kemakmuran, kita akan mulai terjebak pada ritual
meminum air laut, ritual mereguk dunia yang tak pernah akan puas itu,
meminum kekayaan fana yang akan membuat kita abadi terpenjara dalam
nafsu.
Bagaimana cara mempertahankan titik maksimum ini? Tetaplah
mempertahankan prinsip pengabaian pada error term. Biarkan ia selamnya
tak kita masukkan dalam model kebahagiaan-keberhasilan kita. Apakah
error term ini? Itulah yang kata nabi istri dan anak-anakmu itulah yang
kata nabi keberhasilan saudara, tetangga dan orang-orang yang kita
kenal. Ya betul kita harus membahagiakan istri/suami dan anak-anak kita,
tapi ajaklah mereka tetap pada titik kebahagiaan yang telah kita
sepakati. Keberhasilan yang akan membahagiakan kita itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar