(sekedar berbagi)
Banyak mahasiswa, terutama mahasiwa pasca sarjana kita yang kesulitan dalam proses bimbingan dengan pembimbingnya karena tiga hal (1) pembimbingnya berharap si mahasiswa lebih banyak melakukan studi mandiri (2) pembimbingnya berharap mahasiswa telah memahaminya pada perkuliahan di jenjang pendidikan sebelumnya atau yang ke (3) pembimbingnya terlalu sibuk sehingga proses bimbingan seringkali terbengkalai. (seringkali kita dapati seorang pembimbing di kita yang juga pejabat struktural di kampusnya, aktif di kegiatan sosial politik atau bahkan membingbing jumlah mahasiswa jauh diluar kemampuan idealnya).
Pada banyak kasus, banyak juga pembimbing yang hanya memahami satu jenis metode penelitian: kuantitatif saja; atau kualitatif saja. Hal ini biasanya diakibatkan karena pengalaman akademisnya ketika beliau kuliah yang mungkin hanya menggunakan kualitiatif saja, atau kuantitatif saja. Sedangkan, prodi yang membagi-bagi mahasiswa untuk dibimbing sering tidak hirau terhadap kompetensi pembimbingnya.
Terkadang ada juga pembimbing yang terpaku pada jenis software tertentu. Misalnya kebanyakan mahasiswa diajari menggunakan SPSS. Padahal tentu untuk bidang tertentu (misalnya ilmu-ilmu sosial) analisis indikator yang dilakukan secara bersamaan dengan analisis kausalitas lebih mudah menggunakan Lisrel atau Amos. Untuk data yang waktunya runtun tentu lebih cocok Eviews dst. Bahkan bisa jadi ada diantara kita yang tidak lulus sidang karena ada mahasiswa yang menggunakan software untuk menganalisis data pada penelitian kualitatif, wah... ngga kebayang..
Hal ini bisa diperparah dengan pengetahuan pembimbing terhadap simbol matematis sebuah persamaan. Misalnya jika sewaktu kuliahnya dulu beliau diajari regresi linier berganda dengan persamaan Y = c + ax1 + bx2 banyak dari beliau yang menyalahkan kalau mendapati mahasiswanya menggunakan persamaan Y = p1x1 + p2x2 + p3e. Bahkan dalam suatu sidang penguji bisa mentidakluluskan mahasiswa yang bersangkutan. Bahkan ada juga kejadian, mahasiswa tidak lulus sidang karena menggunakan nilai beta koefisien yang standarized. Hanya karena menurut dia nilai beta itu harus yang unstandarized.
Keempat permasalahan ini sering membuat para mahasiswa enggan atau setidaknya mengalami penurunan semangat dalam menyelesaikan studi. Dilain pihak banyak mahasiswa di program pasca sarjana yang juga harus disibukkan oleh pekerjaannya. Hmm ini lah yang membuat kita seringkali merasa ngga enak hati, ragu bahkan rendah diri terhadap keilmuan kita sendiri.
Banyak mahasiswa, terutama mahasiwa pasca sarjana kita yang kesulitan dalam proses bimbingan dengan pembimbingnya karena tiga hal (1) pembimbingnya berharap si mahasiswa lebih banyak melakukan studi mandiri (2) pembimbingnya berharap mahasiswa telah memahaminya pada perkuliahan di jenjang pendidikan sebelumnya atau yang ke (3) pembimbingnya terlalu sibuk sehingga proses bimbingan seringkali terbengkalai. (seringkali kita dapati seorang pembimbing di kita yang juga pejabat struktural di kampusnya, aktif di kegiatan sosial politik atau bahkan membingbing jumlah mahasiswa jauh diluar kemampuan idealnya).
Pada banyak kasus, banyak juga pembimbing yang hanya memahami satu jenis metode penelitian: kuantitatif saja; atau kualitatif saja. Hal ini biasanya diakibatkan karena pengalaman akademisnya ketika beliau kuliah yang mungkin hanya menggunakan kualitiatif saja, atau kuantitatif saja. Sedangkan, prodi yang membagi-bagi mahasiswa untuk dibimbing sering tidak hirau terhadap kompetensi pembimbingnya.
Terkadang ada juga pembimbing yang terpaku pada jenis software tertentu. Misalnya kebanyakan mahasiswa diajari menggunakan SPSS. Padahal tentu untuk bidang tertentu (misalnya ilmu-ilmu sosial) analisis indikator yang dilakukan secara bersamaan dengan analisis kausalitas lebih mudah menggunakan Lisrel atau Amos. Untuk data yang waktunya runtun tentu lebih cocok Eviews dst. Bahkan bisa jadi ada diantara kita yang tidak lulus sidang karena ada mahasiswa yang menggunakan software untuk menganalisis data pada penelitian kualitatif, wah... ngga kebayang..
Hal ini bisa diperparah dengan pengetahuan pembimbing terhadap simbol matematis sebuah persamaan. Misalnya jika sewaktu kuliahnya dulu beliau diajari regresi linier berganda dengan persamaan Y = c + ax1 + bx2 banyak dari beliau yang menyalahkan kalau mendapati mahasiswanya menggunakan persamaan Y = p1x1 + p2x2 + p3e. Bahkan dalam suatu sidang penguji bisa mentidakluluskan mahasiswa yang bersangkutan. Bahkan ada juga kejadian, mahasiswa tidak lulus sidang karena menggunakan nilai beta koefisien yang standarized. Hanya karena menurut dia nilai beta itu harus yang unstandarized.
Keempat permasalahan ini sering membuat para mahasiswa enggan atau setidaknya mengalami penurunan semangat dalam menyelesaikan studi. Dilain pihak banyak mahasiswa di program pasca sarjana yang juga harus disibukkan oleh pekerjaannya. Hmm ini lah yang membuat kita seringkali merasa ngga enak hati, ragu bahkan rendah diri terhadap keilmuan kita sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar