Selasa, 22 Februari 2011

Buku "Sumbangan Dunia Islam untuk Matematika"

Sewaktu kecil dahulu, setiap orang tanya “mau apa jika besar nanti?” saya terbiasa menjawab “PRESIDEN”. Sebuah jawaban yang sering kali menjadi bahan tertawaan orang yang bertanya. Banyak orang di sekitar masa kecil saya berpikir bahwa jawaban saya hanya jawaban lelucon belaka. Karena anak-anak kecil Indonesia pada jaman itu lajim menjawab jadi “dokter, insinyur, guru dll”. Ini juga bukan sekedar ikut-ikutan jawaban obama (haha..) karena saya sudah menulis ini dalam beberapa catatan harian yg di publikasikan di FB sebelum obama dikenal dan dilantik sebagai presiden Amerika. Karena sering di tertawakan sekitar SMP-SMA, saya banyak mencari jenis pekerjaan lain. Di rumah waktu itu ada daftar universitas untuk SIPENMARU (test masuk ke PT) disitulah saya membaca jurusan “arkeologi” di ITB dan jurusan “Sejarah Indonesia” di UI. Karena sedari kecil senang membaca buku-buku sejarah.. sejak itulah setiap kali orang tanya apa cita-cita nanti, saya menjawab “Guru Sejarah”.
Tapi rencana tidak selamanya mulus. Karena PMDK saya kemudian tersesat ke IKIP Bandung jurusan Matematika, diterima tahun 1994. Akhirnya terbayang sudah.. jadi guru.. Tapi kembali rencana tak semudah kenyataan. Cita-cita menjadi guru sebagai profesi tak pernah terlaksana... sampai sekarang (2011, Februari 23). Dunia akademik yang bergerak kesana-kemari malah lebih sering menjadi bahan tertawaan rekan-rekan kerja (bu Yuyun Yuningsih malah sering menjadikan perjalanan akademik saya sebagai bahan lelucon utama). Untuk beberapa saat, saya tidak begitu paham apa yang sedang terjadi. Sampai akhirnya ide membuat buku “Sumbangan Dunia Islam untuk Matematika” ini muncul. Buku yang ke ... (hehe lupa) ini, disusun berdasarkan studi kepustakaan dan tanya sana-sini sampai ke belahan dunia yang jauuuuuh. Buku kecil ini memberikan pemahaman dan kepercayaan diri baru kepada saya, bahwa: “Matematikawan Islam dahulu tidak terperangkap dalam matematika”. Mereka adalah seorang yang generalis. Bidang keahlian yang begitu beragam pada diri mereka. Jika anda akhirnya membaca buku saya, anda akan melihat bahwa matematikawan yang kaku (seperti yang sering kita lihat di kampus-kampus kita) tidak akan kita temui. Mereka (para matematikawan islam) adalah juga ahli dalam bidang Fisika, Kimia, Biologi, Theologi, Seni, Musik, Aritektur, Keuangan, Sosiologi, Antropologi, Geodesi, Geografi dan yang pasti sebagian besar astronomi. Menjadi seorang generalis tentuk tidak bisa disebut “ngarancabang” (bahasa sunda) atau “teu puguh pacabakan” (tidak jelas bidangnya). Menjadi seorang generalis artinya memahami hidup lebih banyak!
Dalam sejarah matematika, matematika dalam Islam abad pertengahan, sering disebut matematika Islam, adalah matematika yang  berkembang di dunia Islam antara tahun 622 sampai dengan 1600 selama apa yang dikenal sebagai zaman keemasan Islam, di bagian dunia di mana Islam menjadi  agama yang dominan. Ilmu Agama Islam dan matematika berkembang di bawah kekhalifahan Islam (juga dikenal sebagai Kekaisaran Islam) didirikan di Timur Tengah, Asia Tengah, Afrika Utara, Italia Selatan, Semenanjung Iberia, dan, pada puncaknya, bagian dari Perancis dan India juga. Kegiatan Islam dalam matematika sebagian besar berpusat di sekitar Irak modern dan Persia, tetapi pada tingkat yang terbesar membentang dari Afrika Utara dan Spanyol di barat sampai ke India di timur.
Buku kecil ini penulis susun untuk memotivasi siswa kami di madrasah-madrasah, tidak sekedar sebagai bahan pengayaan pengetahuannya tentang matematika. Tetapi lebih jauh untuk memupuk kebanggan mereka terhadap Islam dan Matematika. Sehingga diharapkan timbul semangat di antara siswa-siswa madrasah tersebut untuk menggali pengetahuan, khususnya matematika, seperti yang telah dilakukan oleh ummat Islam di masa lampau.
Buku kecil yang sebagian besar merupakan hasil studi pustaka di dunia maya ini, juga ingin mengajari para siswa bahwa membaca buku di seluruh pelosok dunia bisa menjadi lebih mudah dengan bantuan internet. Bahan bacaan yang dilampirkan, hampir seluruhnya bisa di baca melalui Google Book, tanpa harus membeli buku, atau pergi keperpustakaan dimana buku berbahasa asing relatif sulit di dapat.
Kewajiban saya untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada John O'Connor, MA.,DPhil  dan Prof. Edmund F Robertson, MSc. PhD atas ijin mereka berdua untuk menggunakan bahan perkuliahannya “Sejarah Matematika” (MT4501 History of Matematics dan MT5613 Adv History o Mathematics)  di School Mathematics and statistics, University of St Andrews Scotland, dan atas kesediaan mereka berdua membimbing saya dalam penulisan buku ini.
Buku kecil ini tentu perlu disempurnakan pada revisi berikutnya (pada edisi jam 0:52 tanggal 23/02/2011 berjumlah 504 halaman). Walau bagaimanapun saya berniat agar buku ini bisa juga di gunakan untuk level SMA  agar bisa digunakan di Madrasah-madrasah Aliyah, jadi saya harus banyak mengedit lagi agar buku ini layak digunakan pada level ini baik pengetahuan dasar maupun pengetahuan capaian pada murid selevel SMA (menurut BNSP harusnya 100-200 halaman). Aturan yang kadang mengganggu idealisme..
Dari tulisan teman begadang menunggui rasa sakit.. semoga ada yang bisa mengambil manfaat. amin

6 komentar:

  1. bagian akhir dari paragraf kedua: matematikawan jaman dulu bisa begitu karena volume 'body of knowledge' tidak sebesar sekarang; mau menjadi pakar dalam dua bidang pun saat ini kesulitan karena pesat dan banyaknya perkembangan ilmu yang terjadi (kecuali kalau ukuran 'generalis' yang dimaksud seperti profesi wartawan). Mengklaim bisa memahami dengan baik dan menjadi pakar dalam dua bidang pada saat ini bukan suatu yang 'bijak', malah kadang disebut oportunis :).
    Matematika, karena sifat ilmunya, bisa membantu perkembangan ilmu lain; semisal yang ditunjukkan dalam felm serial Numb3rs.

    Saya pernah menonton felm dokumentasi tentang perkembangan ilmu saat Islam masih berjaya, malah ditunjukkan bahwa Nicolaus Copernicus ternyata melakukan 'plagiat' atas karya astronomi Islam dan dia sengaja tidak mencantumkan sumber aslinya. Tanpa bermaksud apologetik, kenapa dulu begitu maju dan menjadi pusat peradaban dunia, tapi setelah itu dan sampai sekarang malah akhirnya mengekor barat?

    BalasHapus
  2. pro:Deceng
    @.sy sudah coba dengan basic matematika sy nyaman juga di Teknik tekstil, Majemen Telkom dan sekarang di Manajemen keuangan. ternyata semua bidang itu bisa melengkapi kegemaran saya menulis.. dan mengajar Komputer kampus. trus sy pegawai kemenag di mtsn urusan kepegawaian dan baru saja diterima sebagai kepala kredit mikro di Bank Syariah Mandiri (padahal sya tak punya pengetahuan dan pengalaman yg cukup tentang perbankkan) jadi sebenarnya kita bisa saja pa.. cuma kesempatan kadang ngga mudah..
    @. kekurangan dunia islam kita diantaranya: tidak punya persatuan dan kedua tidak punya visi (mimpi) kedepan dengan baik. pengajaran matematika juga sama, ada yg mengembangkan kontekstual tapi cuma sekedar ikut2an bukan berangkat dari ide dan keyakinan. ya memang tidak mudah..

    BalasHapus
  3. Pak guru, saya pikir penjelasannya mengenai bidang yang anda pelajari ataupun perubahan profesi bukan ukuran kepakaran. Kecuali kalau anda meneliti berbagai bidang 'at the edge of each knowledge', lalu menerbitkan hasilnya dalam jurnal dengan impact factor dan citation yang tinggi saya pikir tidak akan ada yang menyangsikan bahwa anda pakar dalam berbagai bidang itu. Kita juga tahu kalau sebatas konsumen ilmu belum bisa disebut pakar :).
    Tidak adanya persatuan juga telah muncul pada awal Islam berdiri setelah Rasul SAW wafat (kekhalifahan di Bagdad, Mesir, Spanyol), namun dulu bisa menghasilkan karya agung dan menjadi kiblat ilmu.
    Mengenai matematika, coba anda baca hasil riset tentang upaya kelompok Matematika Realistik di Indonesia, apakah memang seperti yang anda duga.

    BalasHapus
  4. @hehe saya kira bukan kapasitas seseorang untuk bilang dirinya pakar pa.. rasanya menyalahi etik. persis seperti seseorang memperkenalkan diri "saya kiyai darmawan dst.." haha orang kaya gini tinggalin aj! sebab kepakaran dan kekiayian seseorang bukan jenis evadir (evaluasi diri). tetapi murni anggapan khalayak dimana dia berdiri. bagai mana kita bisa mengatakan seseorang seorang pakar jika dia hanya bergelut dalam dunianya sendiri? (mohon maaf kebanyakan akademisi kita kan gitu?) saya lebih menghormati seorang profesor yg menjadi menteri kemudian gagal (seperti yang dituduhkan ke pa bud dan bu sri) dari pada profesor yg kerjanya ngeritik pa bud dan bu sri tapi dia sendiri tidak pernah ada di panggung yang sebenarnya. oleh karena itu tulisan saya lebih banyak saya jadiin warisan buat anak2 sy semata biar kelak anak cucu saya paham betul atas seluruh tindakan saya. jadi kalaupun tulisan sy tentang matematika dan keuangan ada yg di minta untuk disimpan di jurnal temen2 ya sekedar suka2 aj. kecuali buku teks pelajaran TIK itu mah asli karena sy tertarik sama uang dari Pusbuk/Kemendiknas haha lumayan buat beli buku bacaan anak2 sy di rumah. jadi kepakaran bukan tujuan.. kalaupun disebut pakar trus knapa? ngga ada untungnya ngga ada ruginya buat sy dan anak2 saya. hehe ^_*
    @betul pa, jika ego bisa di urus dengan baik, saya pikir bagus juga lah, biar ada semangat kompetisi.
    @mengenai itu prof ET Ruseffendi banyak menjadi rujukan sy kebetulan beliau banyak mengusung pemikiran ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. setelah lama... baca lagi percakapan ini... jadi pengen ketawa... apa sih yang kita cari itu? apa gunanya sekolah itu? apa yang kita cari ketika menjadi pembicara di seminar? atau sekedar pendengar di seminar-seminar ilmiah? yang lebih banyak hasilnya kemudian berakhir di tempat sampah, dan rakyat kita tak juga maju? rasanya mubajir menjadi ahli, menjadi pakar, tapi tak bermanfaat untuk orang banyak? hmmm... rasanya lebih pakar petani yang ngulik berpikir soal irigasi, cara bercocok tanam dan melawan hama lalu mencari bibit tercocok di lahannya. dari pada profesor di kampus yang cuma pintar bicara tapi ngga ada kasi buat rakyat banyak?

      Hapus