Minggu, 12 Mei 2013

Kapan Kita Berhak Mendo'akan Keburukan Orang Lain?

boleh ngga ya, kita doakan kejelekan buat orang yang tidak kita sukai?

Seorang anak kecil bertanya pada ayahnya
"Ayah apakah kita harus mendoakan musuh-musuh kita ?"
Si Ayah tertegun mendengar pertanyaan itu . Akan tetapi ia pun menjawab sambil tersenyum " Itu benar anakku , Tuhan sendiri yang mengajarkan nya "
Maka si anakpun menyahut : " Kalau begitu pendeta tadi pasti punya banyak musuh . aku dengar dia tadi menyebutkan banyak nama dlm doanya ". (http://www.singayehuda.com)

Kesalahpahaman di antara kita, yang kemudian melahirkan kecurigaan dan kebencian akan selalu ada karena kita memang saling berbeda latar belakang. Disukai banyak orang tentu sebuah kenikmatan. Karena kita akan merasa nyaman, tenang dan aman bersama mereka. Bebas dari makarnya, jauh dari kebenciannya, dan dekat dari persahabatannya. Sebab itulah kita selalu berusaha menyenangkan hati
setiap orang yang kita kenal atau yang tidak kita kenal; menjaga perilaku, ucapan, perasaan, sikap dan sifat yang tidak disukai.

Luqman Al Hakim, suatu hari menasehati anaknya untuk tidak menggantungkan hatinya pada kepuasan dan ridha manusia. Sebab, katanya, kepuasan dan keridhaan manusia pasti sulit dicapai. Dan untuk membuktikan hal ini kepada anaknya, Luqman pun mengajaknya ke luar rumah, berjalan-jalan di keramaian manusia, sembari membawa keledai tunggangannya.

Saat keluar di jalan raya, Luqman menunggangin keledai tersebut dan membiarkan anaknya berjalan kaki di belakangnya. Ketika melintasi sekelompok orang, Luqman dan anaknya mendengar mereka berkata, “Lihatlah lelaki tua itu. Betapa keras hatinya dan betapa tidak punya belas kasih kepada anaknya. Bagaimana dia tega menunggangi keledai sementara membiarkan anaknya berjalan kaki di belakang.”

Luqman pun turun dan menyuruh anaknya menaiki pelana keledai. Ketika melewati sekelompok orang yang lain, keduanya lagi-lagi mendengar obrolan orang-orang itu tentang diri mereka, “Perhatikan anak dan bapak itu. Si bapak tentu tidak pernah mendidik anaknya dengan baik sehingga anaknya tidak bisa menghormati dan mengasihi bapaknya.”

Anaknya pun turun dari punggung keledai, lalu berjalan bersama bapaknya di belakang keledai, tetapi orang-orang yang mereka lewati masih terus berkomentar, “Aneh sekali dua lelaki ini. Mereka biarkan keledainya berjalan sementara mereka mengikuti dari belakang.”

Akhirnya, mereka berdua menaiki keledai tersebut. Namun begitu melewati kerumanan yang lain, komentar miring pun terdengar, “Lihatlah kedua orang itu. Mereka benar-benar tidak punya belas kasihan pada binatang. Mereka menyiksanya dengan menaikinya bersama-sama, padahal badan mereka begitu besar.”

Pada riwayat lain tentang kisah ini menyebutkan, Luqman dan anaknya kemudian turun dari keledainya, lalu mengikat dan memikulnya secara bersama-sama, sehingga semua orang yang melihatnya tertawa dan menganggap mereka sudah gila.

Realita kehidupan kita memang tidak pernah menyediakan ruang bebas cela. Karenanya, sebelum kita mendapati cela itu sediakan selalu ruang di hati kita untuk dicela.

Pertanyaannya kemudian adalah apakah sabar berarti berdiam diri, dan apakah berdiam diri berarti sabar? Kebencian orang lain pada kita membutuhkan penerimaan yang tulus , ikhlas dan sabar. Bukan penerimaan yang direkayasa. Bukan penerimaan yang sengaja diciptakan, dengan membuat kita agar kita mendapatkan kebaikan dari perlakukan buruk mereka. Bukan itu.

Memadamkan benci tidaklah mudah. Karena itu, di hati kita harus selalu ada ruang yang tersedia untuk menerimanya. Tetapi yang lebih penting setelah itu, kebencian itu kita hapuskan dengan maaf, karena sikap itulah yang akan mengantarkan kita kepada surga-Nya Allah swt, seperti lelaki yang disebut Rasulullah saw sebagai ahli surga, yang ternyata terbiasa menghapus kebencian dari hatinya kepada siapa saja, sebelum ia tidur malam.
(Ustadz Sulthan Hadi, Majalah Tarbawi edisi206 Th 10. Jun 09.)

rasanya ingin jadi orang seperti itu sabar layaknya isa al masih, mendoakan kebaikan bagi orang yang membenci seperti Muhammad rasulullah. tetapi ketika kita membiarkan orang dholim kepada kita bukankah kita bagian dari kedholiman itu. apakah kepermisifan kita tidak malah di maknai sebagai pembenaran bagi orang2 dholim itu? bukan kah kita juga berkewajiban untuk menyadarkan orang? tidak sekedar dengan hati?

ternyata pilihan manapun yang aku ambil.. aku hanya akan menemukan keraguan yang tak kalah hebatnya.. sepertinya aku masih mesti banyak belajar lagi.. kapan2 aku beritakan pada setiap engkau yang adalah aku!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar