Minggu, 12 Mei 2013

Memahami makna dan posisi Kesederhanaan dan Kompleksitas dalam Metode dan Model Berpikir


Background: 
Bagi banyak orang, pertanyaan “Untuk apa berfilsafat?” menyiratkan suatu kepentingan praktis, yaitu “Apa manfaat filsafat untukku, selain pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri?” Ada sebuah pertanyaan yang juga praktis untuk pertanyaan itu. Keterlibatan kita secara kritis dalam filsafat dapat mengubah keyakinan-keyakinan dasar kita, termasuk sistem nilai yang kita miliki dan bagaimana kita memandang dunia secara umum.  Perubahan sistem nilai atau pun pandangan-dunia kita itu dapat mengubah perspektif kebahagiaan kita, tujuan yang hendak kita kejar dalam profesi kita, atau sekedar gaya hidup kita. Namun, manfaat-manfaat itu lebih merupakan hasil sampingan saja, bukan tujuan yang spesifik dari kajian filsafat.
Pertanyaanya kemudian adalah apakah dalam upaya mencari hakikat tersebut dalam perkuliahan filsafat management yang diampu oleh Prof. Sanusi merubah keyakinan-keyakinan dasar dalam berpikir penulis? Karena jika perubahan itu tidak terjadi maka, penulis gagal dalam mencapai tujuan belajar (Upi Suprayogi, 155:2007). Penulis gagal mereduksi setiap kalimat yang dilontarkan dalam diskusi perkuliahan, berarti penulis gagal dalam mengeleminir pengetahuan-pengetahuan yang tidak esensi mencapai hakikat berfilsafat!

Aims:
Makalah ini bertujuan untuk melakukan otokritik terhadap penulis dalam perkuliahan filsafat management yang diampu oleh Prof. Sanusi. Sehingga menjadi cukup dasar alasan atas asumsi-asumsi yang ingin di bentuk dalam pola pikir penulis. Kesimpulan–kesimpulan ini menjadi penting bagi penulis dan bahkan bagi mahasiswa penulis, sehingga penulis memahami betul kebutuhan dari mahasiswa yang sedang menjadi pembelajar di kelas–kelas yang penulis ampu (seperti ide: Barliana Kartakusumah, 78:2006).

Potential Impact:
Bagi penulis:
Tampaknya diskusi ini, menjadi base on thinking more deeply terhadap pemahaman yang dilakukan dalam cara, metode, model, prilaku dari berpikir. Pada diskusi ini lah kemudian penulis mengintegrasikan semua ide dan pemikiran selama ini dalam sebuah makalah yang lebih terstruktur sehingga orang nantinya bisa lebih memahami cara dan hasil berpikir penulis. Penulis kemudian memahami posisi yang untuk sementara pihak yang hanya mendengar paparan seakan-akan yang vis-a-vis dengan pendapat umum di kelas. Seakan–akan mengahadapkan kesedarhanaan dan kompleksitas berpikir.  Disinilah kemudian timbul pemikiran untuk lebih menggali lagi kemampuan untuk mengkomunikasikan ide, sehingga orang / khalayak bisa lebih memahami cara dan hasil berpikir dari penulis, sehingga berpikir dan hasilnya kemudian tidaklah menjadi sebuah kesia-sian.
Pada diskusi ini pula akhirnya penulis memiliki perspektif baru, reposisi dari kesederhanaan dan kompleksitas berpikir. Yang kemudian penulis terapkan dalam disertasi penulis. Berdasarkan hasil berpikir, berdiskusi penulis berkesimpulan bahwa masalah itu sederhana, penyelesaiannya pun sederhana, sedangkan kompleksitas sendiri berada di antaranya. Kompleksitas adalah kerangka berpikir, seperti yang telah penulis tulis pada makalah sebelumnya. Tetapi persisnya lokasi kompleksitas dalam sebuah pemecahan masalah adalah pada  variabel Y0 - Yi sedangkan kesederhanaan tergambar pada posisi variabel X dan Z maupun Z0 - Zε. Sehingga seharusnya kesederhanaan dan kompleksitas adalah harmoni yang saling melengkapi dalam metode, proses, dan hasil berpikir. Seperti yang penulis aplikasikan dalam model penelitian disertasi penulis berikut:


Bagi pembelajar lain:
Dalam persepsi penulis, pencarian hakikat yang kemudian menemukan pemikiran dan ide-ide baru sebagai tujuan dari berfilsafat tampaknya belum tampak pada banyak pembelajar yang lain. Metoda copy-faste baik dari sisi ide/ tema maupun penulisan makalah secara umum tampaknya masih menjadi tren. Sehingga makalah filsafat yang seharusnya menjadi medan kumpulan pergumulan para penulisnya, menjadi absurt. Tampaknya kebanyakan pembelajar hanya berhasil men-captures ide dan pemikiran pergumulan berpikir orang lain. Sehingga secara pribadi penulis memandang ke-baru-an yang menimbulkan diskusi bahkan berdebat dalam ide-ide filsafat belum lahir. Apalagi kalau kita ingin menohok dengan lebih keras pada “filsafat management”.
Tentu saja tanggapan ini sangat subjektif. Dengan segala kerendahan hati itu diakui, tetapi bukankah ini sebuah otokritik terhadap kegiatan yang kita lakukan (Budi Hardiman dalam Tempo, 173:2006). Dan bukankah otokritik itu memang bermakna memandang objek seobjektif mungkin dalam kerangka subjektif?

Conclution:
Kesimpulan besar dalam perkuliahan ini yang didapatkan adalah
  1. Tampaknya tetap perlu mahasiswa diarahkan pada diskusi/perdebatan filsafat yang lebih ke ranah filsafat management (Buck Rogers dan Robert L. Shook dalam Sonny Keraf, 252:1998). Sayang sekali penulis adalah pembicara pembuka, sehingga keputusan tema cara berpikir harus diambil. Sebelum memasuki management field yang lebih serius.
  2. Pemikiran efektifitas dan efesisensi dalam perkuliahan filsafat management, dari sisi penulis sendiri telah diraih pada sisi hasil. Tetapi harus di sadari bahwa kemampuan penulis dalam menyampaikan ide harus lebih dipertajam lagi. Belajar lagi. Lebih keras, sekeras-kerasnya.

References:
Upi Suprayogi. 2007. Pendidikan Usia Lanjut. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan: Bagian 4, Pendidikan Lintas Bidang. Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP UPI. Imperial Bakti Utama.
Barliana Kartakusumah. 2006. Pemimpin Adiluhung Genealogi Kepemimpinan Kontemporer. Mizan Publika.
Sonny Keraf. 1998. Etika Bisnis: Tujuan dan Rlevansinya. Pustaka Filsafat. Kanisius
Tempo. 2006. Volume 35,Masalah 31-35 hal 173. Badan Usaha Jaya Press Jajasan Jaya Raya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar